BAB II
PEMBAHASAN
2.1. Pengembangan Sumber Daya Manusia
Investasi pengembangan sumber daya manusia selalu berjangka panjang.
Program pengembangan jangka panjang ini mempersiapkan manusia terdidik yang
memiliki ilmu pengetahuan dan mempunyai kualitas yang tinggi, yaitu manusia
yang berkaliber nasional dan internasional. Adanya gejala pengangguran manusia
terdidik dewasa ini perlu mendapatkan perhatian serius. Misalnya, perlu
dilakukan peninjauan ulang terhadap isi dan arah kurikulum pendidikan yang tidak
sejalan dengan kebutuhan pembangunan. Perlu pengembangan paradigma pendidikan
yang memposisikan individu yang mandiri, pembelajar, dan mengupayakan
pengembangan serta pemberdayaan potensi.
Upaya peninjauan kurikulum harus dibarengi dengan perubahan perilaku
pendidik selama ini yang lebih menekankan adanya penindasan terhadap peserta
didik. Punishment lebih didahulukan dan dikembangkan dari pada reward
dan pemberian apresiasi. Padahal pendidikan yang ideal dan dapat
mengembangkan potensi diri agar mandiri adalah pendidikan yang mengedepankan reward
dan apresiasi kepada peserta didik dari pada punishment dan
penindasan yang justru mengerdilkan jiwa peserta didik, membuatnya tidak
kreatif dan tidak mandiri. Ketahanan suatu masyarakat ditentukan oleh tiga unsur
ialah sumber daya alamnya, sumberdaya manusianya yang berkualitas, dan sumber
daya kebudayaan dan kesejarahannya.[1]
Hanya anggota masyarakat yang berbudaya, yaitu yang mempunyai kebanggaan
terhadap masyarakat dan budayanya, akan menjadi unsur sumber daya manusia yang
produktif di dalam era globalisasi. Manusia yang tidak berbudaya akan tenggelam
dalan arus globalisasi dan dia tidak mepunyai identitas. Globalisasi sangat
mempengaruhi negara-negara berkembang, tidak terkecuali Indonesia yang berpenduduk
mayoritas Muslim.
Pengaruh yang demikian itu juga akan dialami warganya, sumber daya
manusianya. Oleh karena itu kesiapan bangsa Indonesia menghadapi era
globalisasi ialah persoalan peningkatan seutuhnya sumber daya manusia, yaitu kualitas
manusia dengan keseimbangan aspek material dan aspek spiritual atau nilai
keagamaan.
Investasi sumber daya manusia sebagai anggota
masyarakat yang diperlukan adalah memiliki karakteristik sebagai berikut:
(1)
Manusia yang berwatak, yaitu jujur dan
memiliki social capital: dapat dipercaya, suka kerja keras, jujur, dan
inovatif. Dengan istilah lain, manusia yang beretika dengan taat menjalankan
ajaran agamanya;
(2)
Cakap dan inteligen; inteligensi ini harus
dikembangkan sesuai apa yang dimiliki oleh masing-masing individu;
(3)
Entrepreneur (wiraswasta), sikap entrepreneur bukan
hanya di bidang ekonomi dan bisnis tetapi juga unruk semua aspek kehidupan,
karena kemampuan entrepreneur cenderung bersifat inovatif dan tidak terikat
kepada sesuatu yang tetap, sehingga tidak mengenal istilah ”menganggur”;
(4)
Kompetitif, sumber daya manusia yang
diperlukan adalah yang memiliki kualitas kompetitif dalam kehidupan dunia terbuka
untuk selalui menggapai nilai lebih dan meningkatkan kualitas produktifitas
kerjanya. Sikap kompetitif harus sudah mulai ditumbuhkan sejak di dalam
keluarga, dan juga setiap jenjang pendidikan formal.
2.2. Filsafat Pendidikan dan Sumber
Daya Manusia
Manusia adalah makhluk yangg
memiliki berbagai potensi bawaan. Dari
sudut pandang potensi yang dimiliki itu, manusia dinamakan dengan berbagai
sebutan. Dilihat dari potensi inteleknya, manusia disebut homo intelectus.
Di lain pihak, manusia juga disebut homo
sapiens, karena memiliki kemampuan merasai, mengerti, membeda-bedakan,
kearifan, kebijaksanaan dan pengetahuan.[2]
Filsafat pendidikan,
seperti dikemukakan Imam Barnadib, disusun atas dua pendekatan. Pendekatan
pertama bahwa filsafat pendidikan diartikan sebagai aliran yang didasarkan pada
pandangan filosofis tokoh-tokoh tertentu. Sedangkan pandangan kedua adalah
usaha untuk menemukan jawaban dari pendidikan beserta problema-problema yang
ada yang memerlukan tinjauan filosofis. [3]
Dari pendekatan pertama, terkait dengan
kualitas potensi manusia, terdapat tiga aliran filsafat. Pertama, aliran
naturalisme, yang menyatakan bahwa manusia memiliki potensi bawaan (natur) yang
dapat berkembang secara alami, tanpa memerlukan bimbingan dari luar
(lingkungan). Secara alami manusia akan bertambah dan berkembang sesuai dengan
kodratnya masing-masing. Tokoh aliran ini adalah Jean Jacques Rousseau.
Kedua, aliran empirisme. Menurut aliran
ini, manusia bertumbuh dan berkembang atas bantuan atau karena adanya
intervensi lingkungan. Tanpa adanya pengaruh luar, manusia tidak akan mampu
berkembang. Jika lingkungan baik, manusia akan menjadi baik. Sebaliknya jika
lingkungan buruk, manusia akan menjadi buruk pula. Tokoh aliran ini adalah
schopenhauer.
Ketiga, aliran konvergensi, yang
memiliki pandangan gabungan antara naturalisme dan empirisme. Menurut aliran
ini, manusia secara kodrati memang telah dianugerahi potensi yang disebut
bakat. Namun, agar potensi itu dapat berkembang, perlu adanya pengaruh dari
luar berupa tuntunan dan bimbingan melalui pendidikan. Tokoh aliran ini adalah
William Stern.
Ketiga aliran tersebut kemudian menjadi
dasar pemikiran manusia dalam kaitan dengan problema pendidikan. Walaupun
manusia memilik bakat yang baik, kemudian dididik secara baik pula, maka
hasilnya akan menjadi lebih baik ada motivasi intrinsik (dorongan kesadaran
dari dalam diri) dari peserta didik itu sendiri.[4]
2.3. Berbagai Potensi Manusia
Dengan mengkaji konsep Al-Insan, Al-Nas, Basyar, Bani
Adam, atau Zuriyat Adam sebagaimana tersebut diatas, paling kurang dapat
diketahui adanya ranah kognitif, efektif dan psikomotorik yang dimiliki
manusia. Ketiga aspek tersebut secara singkat dapat
dikemukakan sebagai berikut.
1.
Ranah Kognitif
Aspek kognitif manusia pada dasarnya adalah
aspek keterampilan berpikir dalam rangka memperoleh pengetahuan. Menurut S.
Bloom, bahwa pada aspek kognitif ini terdiri dari enam komponen keterampilan
berfikir yang sifatnya hirarkhis. Keenam komponen tersebut dapat
dikemukakan sebagai berikut.
1. Pengetahuan. Pengajar pada aspek
pengetahuan ini bertujuan untuk mencapai kemampuan ingatan manusia tentang
hal-hal yang telah dipelajari dan tersimpan dalam ingatan yang berkenaan dengan
fakta, peristiwa, pengertian, kaidah, teori, prinsip, dan metode.
2. Pemahaman. Pengajaran pada aspek ini
bertujuan untuk mencapai kemampuan menangkap arti dan makna tentang hal-hal
yang dipelajari.
3. Penerapan. Pengajaran pada aspek ini,
bertujuan untuk mencapai kemampuan untuk menerapkan metode dan kaidah untuk
menghadapi masalah yang baru dan nyata.
4. Analisis. Pengajaran pada aspek ini
bertujuan untuk mencapai kemampuan merinci suatu kesatuan kedalam bagian-bagian
sehingga struktur keseluruhan dapat dipahami dengan baik. Misalnya mengurangi
masalah menjadi bagian-bagian yang lebih kecil.
5. Sintesis. Pengajaran pada aspek ini
bertujuan mencapai kemampuan membentuk pola baru, misalnya kemampuan menyusun
suatu program kerja.
6. Evaluasi. Pengajaran pada aspek ini
bertujuan mencapai kemampuan membentuk pendapat tentang beberapa hal berdasarkan
kriteria tertentu. Misalnya, kemampuan menilai karangan orang lain.
2.
Ranah Afektif
Aspek afektif manusia pada dasarnya merupakan aspek
keterampilan dalam menghayati dan menyadari tentang berbagai hal yang diketahui
sehingga ia terdorong untuk mengerjakannya.
Menurut keterangan yang dikemukakan para ahli, bahwa pada
aspek kognitif ini terdapat lima keterampilan menghayati dan menyadari manusia,
yang meliputi.
1. Penerimaan. Pengajaran pada aspek ini
bertujuan untuk menumbuhkan kepekaan terhadap hal-hal tertenyu, dan
kesediaannya untuk memperhatikan hal-hal tersebut. Misalnya mengakui adanya
perbedaan.
2. Partisipasi. Pengajaran pada aspek
ini bertujuan untuk menumbuhkan kerelaan, kesedihan dan mempraktikkan dan
partisipasi dalam kegiatan. Misalnya, mematuhi aturan dan berpartisipasi dalam
suatu kegiatan.
3. Penilaian dan Penentuan Sikap.
Pengajaran pada aspek ini bertujuan untuk menumbuhkan sikap menerima suatu
nilai, menghargai, mengakui, dan menentukan sikap. Misalnya, menerima pendapat
orang lain.
4. Organisasi. Pengajaran pada aspek ini
bertujuan untuk menumbuhkan kemampuan membentuk suatu sistem nilai sebagai
pedoman dan pegangan hidup. Misalnya, menempatkan nilai dalam suatu skala nilai
dan menjadikannya sebagai pedoman dalam bertindak secara bertanggung jawab.
5. Pembentukan Pola Hidup. Pengajaran
pada aspek ini bertujuan untuk menumbuhkan kemampuan menghayati nilai dan
membentuknya menjadi pola nilai kehidupan pribadi. Misalnya, kemampuan
mempertimbangkan dan menunjukkan tindakan yang berdisiplin.
1.
Ranah Psikomotorik
Aspek psikomotorik manusia pada dasarnya merupakan aspek
keterampilan dalam mempraktikkan sebuah konsep yang telah dipahami dan
dihayati. Menurut Simpson, bahwa aspek psikomotorik manusia ini terdiri dari
tujuan perilaku sebagai berikut.
1.
Persepsi.
Pengajaran pada aspek ini bertujuan menggali, menumbuhkan, mengarahkan dan
mengembangkan kemampuan memilah-milah (mendeskriminasikan) hal-hal secara khas,
serta menyadari adanya perbedaan. Misalnya pemilihan terhadap warna, angka, dan
sebagainya.
2.
Kesiapan. Pengajaran pada aspek ini bertujuan menggali,
menumbuhkan, mengarahkan dan mengembangkan kemampuan menempatkan diri dalam
keadaan dimana akan terjadi suatu gerakan atau rangkaian tindakan yang mencakup
jasmani dan rohani. Misalnya, menentukan posisi mulai
berlari dalam suatu perlombaan.
3.
Gerak
Terbimbing. Pengajaran pada aspek ini bertujuan menggali, menumbuhkan,
mengarahkan dan mengembangkan kemampuan dalam melakukan gerakan sesuai dengan
contoh, atau gerakan penerimaan. Misalnya, gerakan yang meniru tarian, membuat
lingkaran sesuai pola, dan sebagainya.
4.
Gerak yang Terbiasa. Pengajaran pada aspek ini bertujuan
untuk menggali, menumbuhkan, mengarahkan dan mengembangkan kemampuan dalam
melakukan gerakan tanpa diberikan contoh terlebih dahulu. Misalnya,
melakukan lompat tinggi dengan tepat.
5.
Gerakan Kompleks. Pengajaran pada aspek ini bertujuan
untuk menggali, menumbuhkan, mengarahkan, dan mengembangkan kemampuan dalam
melakukan gerakan atau keterampilan yang terdiri dari banyak tahap secara
lancar, efisien, dan tepat. Misalnya, melakukan bongkar pasang
peralatan secara tepat.
6.
Penyesuaian Pola
Gerakan. Pengajaran pada aspek ini bertujuan menggali, menumbuhkan,
mengarahkan, dan mengembangkan kemampuan mengadakan perubahan dan penyesuaian
pola gerakgerik dengan dengan persyaratan khusus yang berlaku. Misalnya,
kemampuan dalam bertanding dan berlomba.
7.
Kreativitas.
Pengajaran pada aspek ini bertujuan untuk menggali, menumbuhkan, mengarahkan,
dan mengembangkan kemampuan dalam melahirkan pola gerakan-gerakan baru atas
dasar prakarsa sendiri. Misalnya, kemampuan membuat tari kreasi baru.
Berdasarkan keterangan diatas, terlihat bahwa pada
dasarnya aspek kognitif, afektif, dan psikomotorik adalah merupakan
keterampilan, yaitu keterampilan mengetahui, memahami, menerapkan,
menganalisis, menyintesis, dan mengevaluasi, yang dilanjutkan dengan
keterampilan menerima, berpartisipasi, mengorganisasi dan membentuk pola hidup,
serta dilanjutkan dengan kemampuan mempersepsi, mempersiapkan diri, melakukan
gerakan terbimbing, gerakan terbiasa, gerakan kompleks, penyesuaian pola
gerakan dan menghasilkan kreativitas baru.
Berbagai keterampilan pada aspek kognitif, afektif, dan
psikomotorik tersebut pada intinya adalah merupakan pelaksanaan dari berbagai
potensi manusia sebagai makhluk yang dapat berpikir, belajar, berbudaya, dan
berkreasi sebagaimana tersebut diatas.
2.4.
Pengertian Akal dan Ilmu Pengetahuan
2.4.1
Akal
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, akal adalah daya pikir
untuk memahami sesuatu atau kemampuan melihat cara-cara memahami lingkungannya.
Dalam penelitian ini, yang dimaksud dengan akal adalah gabungan dari pengertian
diatas, yang disampaikan oleh Ibnu Taimiyah
dan menurut kamus yakni, daya pikir untuk memahami sesuatu, yang didalamnya
terdapat kemungkinana bahwa pemahaman yang didapat oleh akal bisa salah dan
bisa juga benar.
Untuk selanjutnya, dalam penelitian
ini hanya terbatas dalam penggunaan kata akal. Akal secara bahasa berasal dari
mashdar ya’kilu. A’kla, jika dia menahan dan memegang erat apa yang dia
ketahui. Syaikul Islam
Ibnu Taimiyah berkata, kata akal menahan,
mengekang, menjaga dan sebagainya adalah lawan kata dari melepas, membiarkan,
menelantarkan dan sebagainya. Keduanya nampak pada jisim yang nampak untuk
jisim yang nampak, dan terdapat pada hati untuk ilmu batin, maka akal adalah
menahan dan memegang erat ilmu, yang mengharuskan untuk mengikutinya. Karena
inilah lafadh akal dimutlak kan pada berakal dengan ilmu.
Syeikh
al-albani berkata “Akal menurut bahasa adalah tarbiyah, yaitu sesuatu yang
mengekang dan mengikatnya agar tidak lari kekanan dan kekiri kecuali ia mengikuti
sunah dengan kitab yang mengikat dirinya pada pemahaman salaf’’. Al imam Al
abdul kosim Al Asbahani berkata, “Akal ada dua macam yaitu: thabi’I dan yang
diusahakan, yang thabi’I adalah yang datang bersamaan dengan yang dilahirkan,
seperti kemampuan untuk menyusu, makan, tertawa bila senang, dan menangis bila
tidak senang. Kemudian
seorang anak akan mendapat tambahan akal di fase kehidupannya hingga berumur 40
tahun. Saat itulah sempurna akalnya. Kemudian setelah itu berkurang akalnya,
bahkan ada yang menjadi pikun. Tambahan ini adalah akal yang diusahakan. Adapun
ilmu maka setiap hari pun bertambah, batas akhir menuntut ilmu adalah batas
akhir umur manusia. Maka seorang manusia akan butuh kepada penambahan ilmu
selagi masih bernyawa, dan kadang dia tidak butuh penambahan akal jika sudah
sampai pada puncaknya. Hal ini membuktikan bahwa akal adalah lebih rendah dari
pada ilmu, dan bahwasannya agama tidak bisa dijangkau dengan akal, tetapi agama
dijangkau dengan ilmu.
2.4.2. Ilmu Pengetahuan
Ilmu dan
pengetahuan adalah dua buah kata yang merupakan kata majemuk, sehingga dalam
penggunaannya sehari-hari selalu dirangkai dan membentuk satu arti, yakni ilmu
pengetahuan. Namun,
apabila dilihat lebih teliti, ternyata kata ilmu dan pengetahuan mempunyai arti
tersendiri. Pengetahuan mempunyai makna yang sama dengan knowledge dalam bahasa
Inggris. Dalam hal ini, antara pengetahuan dengan ilmu (science - Inggris) memiliki perbedaan makna
utamanya pada penggunaannya. Menurut al-Ghazali sebagaimana yang dikutip oleh
Cecep Sumarna bahwa, pengetahuan adalah hasil aktivitas mengetahui, yakni
tersingkapnya suatu kenyataan ke dalam jiwa sehingga tidak ada keraguan di
dalamnya. Pengetahuan merujuk kepada apa yang kita kenal, ketahui atau fahami
atau dapatkan melaui pengalaman, penginderaan, penyuluhan, pelatihan, percobaan, belajar,
refleksi, intuisi, dan lainnya. Dengan kata lain, pengetahuan adalah apa yang kita ketahui.
Pengetahuan
berlangsung dalam dua bentuk dasar yang berbeda. Pertama, pengetahuan yang
berfungsi untuk dinikmati dan memberikan rasa puas dalam hati manusia. Kedua,
pengetahuan yang patut digunakan atau diterapkan dalam menjawab kebutuhan
praktis. Dari dua bentuk dasar pengetahuan tersebut, kemudian melahirkan tiga
macam pengetahuan, yakni pengetahuan tentang sains, filsafat dan mistik.
Pengetahuan selalu memberi rasa puas dengan menangkap tanpa ragu terhadap
sesuatu. Pengertian pengetahuan seperti itulah yang telah membedakannya dengan
ilmu yang selalu menghendaki penjelasan lebih lanjut dari apa yang sekedar
dituntut oleh pengetahuan. Muhammad Hatta memberikan pengertian yang berbeda
antara pengetahuan dengan ilmu pengetahuan. Menuurut Hatta sebagaimana dikutip
oleh M. Rasjidi dan Harifuddin Cawidu bahwa: ”pengetahuan yang didapat dari
pengalaman disebut pengetahuan”, sedangkan ”yang didapat dengan jalan
keterangan. Disebut ilmu”.
Ilmu
(science -
Yunani, ’Alima -
Arab) secara etimologi berarti tahu atau pengetahuan. Tetapi secara terminologi
ilmu atau science adalah pengetahuan yang mempunyai ciri-ciri dan
syarat- syarat tertentu. Para ahli telah memberikan rumusan batasan ilmu
pengetahuan dengan formulasi yang berbeda-beda,
antara lain :
1.
Ralph Ross dan Ernest Van Den Haag memberikan batasan
defenisi ilmu. Menurutnya, ”ilmu adalah yang empiris, yang rasional, yang umum
dan kumulatif (bertimbun-timbun) dan
keempat-empatnya serentak.”
2. Ashley Montagu: ”Ilmu pengetahuan
adalah pengetahuan yang disusun dalam satu sistem yang berasal dari pengamatan,
studi dan pengalaman untuk menentukan hakikat dan prinsip tentang hal yang
sedang dipelajari.”
3. Dalam Ensiklopedi Indonesia sebagaimana dikutip Rasjidi
dirumuskan bahwa: ”Ilmu Pengetahuan adalah suatu system dari berbagai
pengetahuan, yang masing- masing mengenai suatu lapangan pengalaman tertentu,
yang disusun sedemikian rupa menurut asas-asas tertentu, hingga menjadi
kesatuan; suatu system dari Berbagai pengetahuan yang masing-masing didapatkan
sebagai hasil pemeriksaan-pemeriksaan yang dilakukan secara teliti dengan
memakai metode- metode tertentu (induksi, deduksi).”
4. Sutari Imam Barnadib: ”Ilmu
pengetahuan adalah suatu uraian yang lengkap dan tersusun tentang suatu obyek.”
5. Amir Daien Indrakusuma: “Ilmu
pengetahuan adalah uraian yang sistematis dan metodis tentang suatu hal atau
masalah.”
Ilmu
adalah cabang pengetahuan dengan ciri-ciri tertentu. Ciri-cirinya adalah
memiliki obyek, memiliki metode, memiliki sistematika, dapat diuji
kebenarannya. Menurut Quraish Shihab, kata ilmu digunakan dalam arti proses
pencapaian pengetahuan dan objek pengetahuan. Dari segi bahasa, kata ilmu
berasal dari bahasa Arab, ’ilm yang berarti kejelasan. Jadi ilmu adalah
pengetahuan yang jelas tentang sesuatu.
Quraish
Shihab lebih lanjut mengatakan bahwa ilmu itu ada dua macam berdasarkan
perspektif al- Quran. Pertama, ilmu yang diperoleh tanpa upaya manusia, yang
disebut ilmu ladunni. Kedua, ilmu yang diperoleh karena usaha manusia, yang
disebut ilmu kisbi. Kata ilmu dengan berbagai bentuk dan derivasinya digunakan
untuk menunjukkan proses pencapaian pengetahuan dan objek pengetahuan
sekaligus. Sedangkan berdasarkan fungsinya, ilmu-ilmu itu dapat
diklasifikasikan ke dalam empat kelompok yaitu:
a. Ilmu untuk ibadah dalam arti khusus
atau ritual,
b. Ilmu untuk mengembangkan pribadi
manusia mencapai ahsani taqwim,
c. Ilmu untuk hidup berbudaya dengan
sesama manusia,
d. Ilmu untuk memelihara, mengembangkan dan menciptakan
lingkungan hidup yang lebih baik.
Malik bin
Nabi di dalam kitabnya, Intaj al-Mustasyriqin wa at- Saruhu Fi al-Fikriy
al-Hadits sebagaimana yang dikutip oleh Quraish Shihab ”Ilmu pengetahuan adalah
sekumpulan masalah serta sekumpulan metode yang dipergunakan menuju tercapainya
masalah tersebut”. Dalam hal ini, Malik bin Nabi tidak membedakan antara ilmu
dengan pengetahuan., Lebih lanjut Malik bin Nabi mengatakan:
“Kemajuan ilmu pengetahuan bukan hanya terbatas dalam
bidang- bidang tersebut, tetapi bergantung pula pada sekumpulan syarat-syarat
psikologis dan sosial yang mempunyai pengaruh negatif dan positif sehingga
dapat menghambat kemajuan ilmu pengetahuan atau mendorongnya lebih jauh. Ini
menunjukkan bahwa kemajuan ilmu pengetahuan tidak hanya dinilai dengan apa yang
dipersembahkannya kepada masyarakat, tetapi juga diukur dengan wujudnya suatu
iklim yang dapat mendorong kemajuan ilmu pengetahuan itu.
Ilmu merupakan pengetahuan yang menelaah dunia empirik,
cara perolehannya melalui observasi, penginderaan, pengkajian, atau percobaan
yang sistematik, metodis, dan koheren. Objek ilmu pengetahuan adalah dunia empirik atau alam materi
yang diserap melalui panca indera yang lugas maupun yang dibantu oleh teknologi
modern. Ilmu adalah dasar untuk peradaban manusia, dan perkembangan ilmu
diwadahi oleh perguruan tinggi. Kita mengembangkan ilmu secermat- cermatnya
untuk mengambil manfaat sebesar-besarnya dalam kehidupan manusia, dalam rangka
pengabdian manusia (sebagai mahluk) kepada penciptanya.
Ilmu
sangat erat kaitannya dengan kebenaran. Kita percaya bahwa kebenaran mutlak
diwahyukan tuhan kepada manusia, sedangkan kebenaran yang dicapai itu sifatnya
relatif, dan diantara kebenaran relatif ini dibagi dua, ialah filsafat yang
bersifat ‘spekulatif’ dan ilmu atau sains yang bersifat ‘positif’.
Dalam
sains (yang tidak melandaskan diri kepada tuhan), sebagai pemula keberadaan
sains ditetapkan dalam empat asumsi dasar, yaitu:
1. Bahwa dunia ini ada
2. Kita bias mengetahui dunia
3. Kita mengetahui dunia melalui
panca indera
4. Fenomena-fenomena terkait dengan
kausal
Dalam upaya
quest for knowledge manusia menggunakan segala akal budinya, ialah rasio
dan rasa. Bila ilmu barat hanya menyandarkan pada akal atau rasionya saja,
sedangkan ilmu timur menekankan pada kalbu dan hanya sedikit rasio. Akan tetapi
kita menghendaki untuk menggunakan rasio dan rasa secara seimbang pada tempat
dan takaran yang benar.
Kemampuan rasio terletak pada membedakan (atau menyamakan)
dan menggolongkan (berdasarkan kesamaan itu). Selain itu menyatakan secara
kuantitatif atau kualitatif, menyatakan hubungan-hubungan dan mendeduksinya
(atau menginduksinya). Semua kemampuan itu berdasarkan ketentuan atau patokan-patokan
yang sangat terperinci.
Rasio
tidak berdusta; dalam keadaan murni ia menyatakan secara tegas ya atau tidak.
Kemampuan rasa terletak pada kreativitas, yang merupakan kegaiban, karena itu
langsung berhubungan dengan tuhan. Kreativitas inilah yang merupakan pemula di
segala bidang, nalar, ilmu, etika dan estetika. Sebagai pemula, kemampuan ini
disebut intuisi. Etika (love) dan estetika (beauty) seluruhnya terletak pada
rasa, sehingga tiadanya rasa tak mungkin ada etika dan estetika. Rasa tidak
berpatokan sebagaimana dipunyai oleh rasio. Patokan ini disebut inferensi. Rasa
adalah media kontak manusia dengan tuhan. Rasa yang terjaga menjadikan manusia
berderajad lebih tinggi dari malaikat, sedangkan rasa yang tidak terjaga dari
godaan syeitan menjadikan manusia jatuh martabat menjadi lebih rendah dari
binatang sekalipun.
Daya quest
for knowledge (penguasaan ilmu) muslim melemah, ada hubungannya dengan
melemahnya penggunaan akal dan nalar, sehubungan dengan pandangan teologis yang
terlalu menonjolkan takdir, yang harus diupayakan adalah perenungan dalam
melakukan nalar.
Istilah science atau ilmu dalam pengertiannya yang
lengkap dan menyeluruh adalah serangkaian kegiatan manusia dengan pikirannya
dan menggunakan berbagai tata cara sehingga menghasilkan sekumpulan pengetahuan
yang teratur mengenai gejala-gejala alami, kemasyarakatan dan perorangan untuk
tujuan mencapai kebenaran, memperoleh pemahaman, dan memberikan penjelasan atau
melakukan penerapan.
Ilmu
pengetahuan itu timbul disebabkan oleh adanya kebutuhan- kebutuhan dan kemauan
manusia untuk hidup bahagia dan sejahtera. Sehingga dalam mencapai dan memenuhi
kebutuhan hidupnya itu, maka manusia menggunakan akal pikirannya. Hasil dari
pemikiran manusia itulah, kemudian melahirkan berbagai ilmu pengetahuan
seperti: ilmu pertanian, perikanan, humaniora, kesehatan, ilmu hukum, ilmu
bahasa, Ilmu Pengetahuan Alam, dan lain sebagainya.
Sesungguhnya
masih banyak rumusan tentang definisi ilmu yang dikemukakan oleh para ahli ilmu pengetahuan yang tidak
dapat disebutkan semua. Tetapi kalau dicermati dari semua definisi atau batasan
yang bermacam-macam itu dapat diketahui bahwa ilmu merupakan pengetahuan yang
bercirikan sistematik, rasional, empiris dan bersifat kumulatif. Sementara
syarat-syarat sesuatu dapat disebut sebagai ilmu pengetahuan adalah harus
mempunyai:
1. obyek formal sendiri;
2. metode penelitian;
3. sistematika uraian; dan
4. tujuan.
Berdasarkan
berbagai definisi dan pembagian ilmu sebagaimana yang disebutkan di atas, maka secara garis besarnya
objek ilmu dapat dibagi dalam dua bagian pokok, yaitu alam materi dan
nonmateri. Sains mutakhir yang mengarahkan pandangannya kepada alam materi,
menyebabkan manusia membatasi ilmunya pada bidang tersebut. Bahkan sebagian
mereka tidak mengakui adanya realitas yang tidak dapat dibuktikan di alam
materi. Karena itu, objek ilmu menurut mereka hanya mencakup sains kealaman dan
terapannya yang dapat berkembang secara kualitatif dan penggandaan, variasi
terbatas, dan pengalihan antar budaya.
Sedangkan
ilmuwan muslim menyatakan bahwa objek ilmu mencakup alam materi dan nonmateri.
Karena itu, ilmuwan muslim khususnya kaum sufi memperkenalkan ilmu untuk menggambarkan
hirarki keseluruhan realitas wujud yang mereka sebut lima kehadiran Ilahi,
yaitu :
1. Alam materi
2. Alam kejiwaan
3. Alam ruh
4. Sifat-sifat ilahiyah, dan
5. Wujud zat ilahi
Cara
memperoleh ilmu-ilmu tersebut ada dua macam sebagaimana yang dikemukakan oleh
Quraish Shihab, yakni dengan ladunni dan dengan kasbi. Adapun sarana yang
digunakan untuk memperoleh ilmu- ilmu tersebut adalah dengan melalui
pendengaran, penglihatan (mata), akal dan hati. Sedangkan trial and error (coba-coba),
pengamatan, percobaan dan tes-tes kemungkinan (probability) merupakan
cara-cara yang digunakan ilmuwan untuk meraih pengetahuan.
2.5.
Pengertian Akal sebagai Pengetahuan
Mendapatkan
pengetahuan, manusia menggunakan akal. Akal, ratio (Latin) akal
(bahasa Arab ‘aqli) budi (Sanskerta) akal budi (persatuan
Arab dan Sansekerta) Nous (Yunani) Rasion (Prancis) Reason
(Inggris), adalah potensi rohaniah manusia sanggup mengerti mengenai teori
realita kosmis.
Dalam epistemologi, juga didapatkan bahwa akal adalah
sumber pengetahuan manusia, karena manusia itu pandai berpikir maka ia
berpengetahuan dan sekalian pengetahuannya dibentuk oleh pikirannya. Tidaklah
mudah membuat definisi akal sebagai sumber pengetahuan.
Penganut teori filsafat idealis menilai, bahwa
pengetahuan akal melebihi pengetahuan pengalaman, sedangkan rasionalis kritis,
mengatakan bahwa akal mengolah pengalaman sambil meresap pada obyek itu
sendiri. Rasionalis berpendirian bahwa sumber pengetahuan terletak pada akal. Rasionalis tidak mengingkari pengalaman, melainkan
pengalaman hanya dipandang sejenis perangsang bagi pikiran, para penganut
rasionalis yakin bahwa kebenaran dan kesesatan terletak pada ide manusia. Jika
kebenaran mengandung makna ide yang sesuai dengan kenyataan, maka kebenaran
hanya dapat ada dalam pikiran kita dan hanya dapat diperoleh lewat akal budi
saja.
Sebagaimana seorang tokoh filsafat, Leibniz mengatakan,
bahwa pengetahuan inderawi pada hakikatnya tak lain adalah pengetahuan budi,
tetapi masih setengah tidur. Rupanya
manusia masih menerima kesan dari panca indera, namun dalam proses penyadaran
yang dilakukan secara filsafat. Nampaklah segala pengetahuan sudah tercakup
dalam kehidupan batin kita, yang semula nampak seolah-olah datang dari luar (pengalaman,
empiris). Pada hakikatnya
dikembangkan oleh akal budi dengan menimba dari akar-akarnya sendiri.
Akal
sebagai sumber pengetahuan dengan indera, saling berhubungan. Akal budi tidak
dapat menyerap sesuatu dan panca indera tidak memikirkan sesuatu. Bila keduanya
bergabung maka timbullah pengetahuan. Menyerap sesuatu tanpa dibarengi akal
budi adalah kebutaan, dan pikiran tanpa isi sama dengan kehampaan. Akal dan
indera saling mengisi dalam memperoleh pengetahuan, akal berperan sebagai
pengolah apa yang telah diserap oleh indera.
Aktivitas akal sebagai sumber pengetahuan disebut
berpikir, berpikir merupakan ciri khas manusia sebagai makhluk yang paling
tinggi derajatnya dimuka bumi ini. disini timbul masalah apakah berpikir itu? Secara umum maka setiap perkembangan
ide dan konsep dan sebagainya disebut berpikir. Dimana seseorang berpikir
sunguh-sungguh takkan membiarkan ide dan konsep yang dipikirkannya berkelana
tanpa arah, namun ditujukan pada arah tertentu yaitu pengetahuan.
Plato mengatakan, bahwa manusia masuk dalam
dua dunia yaitu dunia pengalaman dan dunia ide (fungsi akal
sebagai sumber pengetahuan). Segala yang ada di dunia ide sifatnya satu
dalam macamnya tetapi tak berubah. Ide itu merupakan suatu yang sungguh-sungguh ada.
Dalam
pandangan Islam, akal berbeda dengan otak, perbedaan tersebut terletak pada
pemikiran. Akal berbeda dengan otak, akal merupakan suatu daya berpikir yang
terdapat dalam jiwa manusia. Akal berarti ikatan antara pikiran dan perasaan
serta kemauan. Kalau ikatan itu tidak ada maka tidaklah ada akal itu.
2.6. Sumber Pengetahuan Panca Indra
Berbicara
panca indra, berarti berbicara tentang aspek jismiyah (fisik) manusia. Dalam Al Quran
dijelaskan beberapa fungsi aspek jismiyah yang membantu cara kerja aspekpsikis
lainnya, antara lain : kulit (al jild) sebagai alat peraba, hidung (al anf)
sebagai alat penciuman, telinga (udhun) sebagai alat pendengaran, mata (al ‘yun) sebagai alat penglihat, lidah (lisan)
kedua bibir (al syafatain) dan mulut (al fam) sebagai alat pengucap yang
berguna sebagai alat memperoleh dan menyebarkan informasi dan ilmu pengetahuan.
Menurut
Fajrie Alatas, dalam pandangan islam, tubuh memiliki karakteristik yang fundamental
bagi manusia. Tubuh adalah tempat bersemayamnya panca indra, sehingga dengannya
manusia dapat melihat, meraba, mencium, mendengar dan merasa. Melalui perantara
indrawilah, manusia dapat melihat dan membaca ayat-ayat dan tanda-tanda
tertabur di alam semesta
ini. Di sinilah letak keutamaan jasad dalam turunya ilmu, jasad adalah penerima
pertama yang bersinggung langsung dengan data-data dan informasi yang tersebar
di alam semesta ini. Pandangan ini
mengisyaratkan peranan jasad terutama
panca indra sebagai sumber untuk memperoleh ilmu pengetahuan. Islam memang
memandang panca indra sebagai kenikmatan agung yang diberikan kepada manusia,
mengingat posisinya sebagai sumber ilmu pengetahuan. Sedangkan panca indra yang paling dominan
berfungsi sebagai ilmu pengetahuan adalah indra pendengaran dan indra
penglihatan, sebagaimana penjelasan dibawah ini:
Amman
Abd Al-Mu’min Qahia menggunakan surat sajadah : 9 sebagai landasan bahwa panca indra
merupakan sumber ilmu pengetahuan, kemudian Dia menyempurnakan dan meniup
kedalam nya roh (ciptaan)-Nya dan dia menjadikan bagi kamu pendengaran,
penglihatan dan hati, tetapi kamu sedikit sekali bersyukur. Ayat ini menunjukan
bahwa panca indra memiliki peranan besar dalam memperoleh ilmu pengetahuan,
khususnya pendengaran dan penglihatan.
Rangkaian
paragraf di atas menjadi argumen secara naqli dan aqli bahwa panca indra
merupakan sumber ilmu pengetahuan, termasuk dalam ilmu pendidikan islam, hal
yang patut digaris bawahi adalah panca indra sebagai sumber ilmu tidak bersifat
independen. Melainkan harus melibatkan akal, sebagaimana dari surat Al Sajadah:
9, sinergi antara akal dengan panca indra sebagai sumber ilmu pengetahuan juga
disetujui oleh Muhammad thalibib madlul yang menyatakan bahwa Allah menciptakan
manusia dan memulyakannya dengan menjadikan akal dan panca indra bagi manusia.
Masing masing panca indra memiliki peran penting dalam ilmu pengetahuan
selanjutnya Muhammad thalib madlul sampai kepada kesimpulan Bahwa saluran
saluran ilmu pengetahuan pada diri manusia adalah panca indra dan akal. Landasannya
adalah surat An Nahl: 78.
Menurut ahli tafsir dan ahli pendidikan
islam. Ar Razi menafsirkan sebagai berikut: “sesungguhnya jiwa manusia pada
permulaan penciptaan, kosong dari pengetahuan dan ilmu tentang Allah, kemudian
Allah memberikan panca indra ini untuk meperoleh pengetahuan dan ilmu. Said
Ismail ‘Aly menyatakan bahwa surat an-Nahl: 78 mengandung 3 pengertian:
pertama, kita dilahirkan kedunia ini
tanpa memiliki ilmu sedikitpun. Kedua, Allah menjadikan akal dan panca indra
untuk manusia sebagai saluran untuk memperoleh ilmu pengetahuan. Ayat ini hanya
menyebutkan bagian terpenting panca indra, yaitu pendengaran dan penglihatan.
Ketiga, keberhasilan memperoleh ilmu pengetahuan dengan memanfaatkan anugrah
Allah di atas, seharusnya membuat seseorang bersyukur kepada Allah Swt. Setelah
menjelaskan isi kandungan ayat di atas, Talib Madlul menyatakan bahwa manusia
memiliki 2 alat (memperoleh) ilmu pengetahuaan. Pertama, alat yang bersifat
zahir yaitu panca indra. Kedua, alat yang bersifat batin, yaitu akal dan hati.
Dengan demikian, dalam merumuskan ilmu pendidikan islam, seseorang dituntut
untuk melibatkan panca indra, akal dan hati secara integratif, sehingga bobot
kebenaran lebih tinggi, objeknya lebih luas dan hasilnya lebih dapat diterima
dalam pendidikan islam. Al Kudry menambahkan bahwa dalam proses memperoleh ilmu
pengetahuan, panca indra tidak ada harganya jika tidak disertai dengan
penalaran akal, karena penggunaan panca indra saja termasuk pekerjaan binatang,
bukan manusia, sebagaimana dalam surat al a’raf: 159. Salah satu contoh kerja sama
antara panca indra dan akal sebagai sumber ilmu pengetahuan dapat dilihat pada
metode observasi. Al quran mengajak akal manusia untuk mengetahui dan memahami
nilai dan kekuatan hakiki dunia material, pertama-tama, melalui penelitian dan
observasi terhadap fenomena alam semesta dan melakukuan refleksi yang mendalam
mengenai rahasia dan keajaibannya.
MAKALAH ILMU PENDIDIKAN KELOMPOK 2