BAB II
PEMBAHASAN
2.1
Akhlak Al-Karimah
Dari
sudut kebahasaan, akhlak berasal dari bahasa Arab yaitu isim masdar dari kata (akhlaqa,
yukhliku, ikhlaqan) yang berarti perangai, kelakuan, tabiat, watak dasar. Secara
Istilah, akhlak dapat diartikan
sebagai gambaran atau bayangan dari jiwa
seseorang, mereka berbuat, bertindak, atau bertingkah laku berdasarkan apa yang
tertanam dalam jiwanya dan telah menjadi kebiasaan setiap hari tanpa ada pengaruh
atau dorongan dari pihak lain, mereka melakukan secara spontan tanpa
pertimbangan pikiran sebelumnya.
Dalam Kamus
Besar Bahasa Indonesia sendiri akhlak diartikan sebagai kalakuan atau budi
pekerti. Yang mana kelakuan tersebut dapat terbentuk dan dibentuk baik oleh fak-r
internal maupun eksternal individu. Maka oleh karena itu diperlukan adanya
pendidikan mengenai akhlak atau kelakuan atau budi pekerti tersebut. Pada
hakekatnya, pendidikan budi pekerti memiliki substansi dan makna yang sama
dengan pendidikan moral dan pendidikan akhlak. Yang mana menurut Haidar pendidikan
budi pekerti itu adalah usaha sadar yang dilakukan dalam rangka menanamkan atau
menginternalisasikan nilai-nilai moral ke dalam sikap dan prilaku peserta didik
agar memiliki sikap dan prilaku yang luhur (berakhlakul karimah) dalam
kehidupan sehari-hari, baik dalam berinteraksi dengan Tuhan, dengan sesama
manusia maupun dengan alam atau lingkungan.[1]
Tujuan
pendidikan budi pekerti adalah untuk mengembangkan nilai, sikap dan prilaku
siswa yang memancarkan akhlak mulia/budi pekerti luhur.[2]
Hal ini mengandung arti bahwa dalam pendidikan budi pekerti, nilai-nilai yang
ingin dibentuk adalah nilai-nilai akhlak yang mulia, yaitu tertanamnya nilai-nilai
akhlak yang mulia ke dalam diri peserta didik yang kemudian terwujud dalam
tingkah lakunya.
Dalam kacamata
Islam sendiri, akhlak merupakan implikasi akidah yang akan berjalan secara
seimbang. Dalam arti, bahwa apabila akidah seseorang telah benar, semestinya
tercermin dalam perilakunya yang baik dan terpuji. Sebaliknya, jika pertumbuhan
akidah kurang sehat, maka tampilan perilaku dan kehidupan juga kurang
menggembirakan. Akan tetapi, sebaliknya, tidak secara otomatis. Dalam arti
bahwa tidak semua orang yang berperilaku baik, dalam waktu yang sama mempunyai
gambaran (tasawwur) tentang akidah yang baik dan benar. Begitu banyak kita
saksikan orang-orang di luar Islam, secara kemanusiaan, tergolong “baik”,
karena pandai bergaul, penampilannya simpatik, hubungan sosialnya menyenangkan,
namun tidak dapat diklaim sebagai orang yang berakhlak al-karimah, karena
persoalan akhlak berkaitan langsung dengan dimensi akidah. [3]
Selain itu,
konotasi akhlak dalam Islam tidak hanya sebatas dimensi horizontal
(kemanusiaan), tetapi mencakup akhlak kepada Allah swt, (dimensi vertical). Dua
cakupan ini merupakan satu kesatuan yang utuh dan tak dapat dipisah-pisahkan
satu dengan yang lain. Kekeliruan banyak orang ketika membatasi pengertian
akhlak hanya pada dataran horizontal dan langsung menjadikannya sebagai
parameter untuk mengukur “baik” atau “tidak baik”.[4]
Dalam Islam tolak
ukur yang dipakai adalah “benar “ atau “tdak benar”. Sesuatu yang “tidak
benar”, betapapun performance-nya simpatik, rasa sosialnya menakjubkan, ia
dengan serta merta akan jatuh tanpa nilai. Dan yang dinilai “benar”, maka
“eksterior”nya pun tampil dengan baik dan simpatik. Eksistensi akhlak dalam kehidupan manusia
menempati posisi yang sangat penting, baik sebagai individu, sebagai masyarakat
dan bangsa. Sebab jatuh bangunnya, jaya hancurnya, sejahtera rusaknya suatu
bangsa, masyarakat dan bangsa tergantung kepada bagaimana akhlaknya. Apabila
akhlaknya baik (berakhlak), akan sejahteralah lahir batinnya, tetapi apabila
akhlaknya buruk (tidak berakhlak), rusaklah lahir batinnya. Rasulullah SAW., merupakan contoh puncak dari sosok seorang yang
mulia. Hal ini sebagaimana tercermin dari sikapnya yang merupakan conh yang
ideal dan paling sempurna. Sosok Rasulalah sebagai manusia yang ideal dan
paling sempurna jelas tergambar dalam al-quran. Kehadiran beliau sebagai
seorang yang mengemban tugas untuk menyempurnakan akhlak. Karena itu, adalah
pada tempatnya apabila perbaikan akhlak merupakan salah satu sasaran utama
Islam.[5]
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa akhlak
merupakan suatu ilmu yang memberikan batasan-batasan antara yang baik dan yang
buruk, antara yang terpuji dan yang tercela, baik perkataan maupun perbuatan
manusia atau mengatur umat manusia guna mencapai tujuan hidup baik lahir maupun
batin di dunia atau di akhirat.
2.2 Mengenal
Karakter Siswa Menengah Atas
Karakter merupakan nilai-nilai perilaku
manusia yang berhubungan dengan Tuhan Yang Maha Esa, diri sendiri, sesama
manusia, lingkungan, dan kebangsaan yang terwujud dalam pikiran, sikap,
perasaan, perkataan, dan perbuatan berdasarkan norma-norma agama, hukum, tata
krama, budaya, dan adat istiadat.
Karakter adalah sifat pribadi yang relatif
stabil pada diri individu yang menjadi landasan bagi penampilan perilaku dalam
standar nilai dan norma yang tinggi yang berbasis pada nilai dan norma.[6] Ada tujuh nilai-nilai
standar yang memandu perilaku seseorang, yaitu :
1.
isu sosial
2.
kecenderungan arah ideologi religius atau politis
3.
memandu diri sendiri
4.
sebagai standard untuk evaluasi diri dan orang lain
5.
sebagai dasar perbandingan kemampuan dan kesusilaan
6.
sebagai standar untuk membujuk dan mempengaruhi orang lain, dan
7.
sebagai standar merasionalkan sesuatu hal, sikap dan tindakan melindungi,
memelihara, dan tentang mengagumi sesuatu/seseorang atau diri sendiri.[7]
Cole menyatakan periodesasi
perkembangan manusia sebagai berikut:
Periode
|
Umur
|
Masa
Batita
Masa
kanak-kanak
Pertengahan
masa kanak-kanak
Setelah
Masa Kanak-kanak
Mendekati
Remaja
Pertengahan
masa remaja
Akhir masa
remaja
Mendekati
Dewasa
Pertengahan
masa dewasa
Akhir masa
dewasa
|
Lahir s/d
2 tahun
2 s/d 6 tahun
6 s/d 11 tahun
(perempuan)
6 s/d 13 tahun
(laki-laki)
11 s/d 13 tahun
(perempuan)
13 s/d 15 tahun
(laki-laki)
13 s/d 15 tahun
(perempuan)
15 s/d 17 tahun
(laki-laki)
15 s/d 18 tahun
(perempuan)
17 s/d 19 tahun
(laki-laki)
18 s/d 21 tahun
(perempuan)
19 s/d 21 tahun
(laki-laki)
21 s/d 35 tahun
(l/p)
35 s/d 50 tahun
(l/p)
50 s/d 65 tahun
(l/p)
|
Berdasarkan
periodesasi perkembangan manusia di atas, siswa SMA yang rata-rata berada pada
usia antara 15-19 tahun berada pada pertengahan masa remaja (middle
adolescence).[8]
Remaja
adalah masa yang penuh dengan permasalahan. Statemen ini sudah dikemukakan jauh
pada masa lalu yaitu di awal abad ke-20 oleh Bapak Psikologi Remaja yaitu
Stanley Hall. Pendapat Stanley Hall pada saat itu yaitu bahwa masa remaja
merupakan masa badai dan tekanan (storm and stress) sampai sekarang masih
banyak dikutip orang. Menurut Erickson masa remaja adalah masa terjadinya
krisis identitas atau pencarian identitas diri. Gagasan Erickson ini dikuatkan
oleh James Marcia yang menemukan bahwa ada empat status identitas diri pada
remaja yaitu identity diffusion/ confussion, moratorium, foreclosure, dan
identity achieved.[9]
Karakteristik remaja yang sedang berproses untuk mencari identitas diri ini
juga sering menimbulkan masalah pada diri remaja.
Karena
belum memiliki pedoman hidup, seorang remaja akan memerlukan sesuatu yang dapat
dianggap sebagai sesuatu yang bernilai, pantas dihargai, dan dipanuti. Pada
awalnya, sesuatu yang dipuja itu belum memiliki bentuk tertentu. Si remaja
sendiri hanya tahu bahwa dia menginginkan sesuatu tetapi tidak tahu apa yang
diinginkannya. Keadaan seperti ini biasanya melahirkan sajak-sajak alam.
Menurut
Hunkins, siswa SMA cenderung berkarakteristik berikut.
a.
Secara fisik:
1.
umumnya individu telah mempunyai kematangan yang lengkap;
2.
individu-individu ini kian menyerupai orang dewasa: tulang-tulang
tumbuh kian lengkap, dan sosoknya kian tinggi; serta
3.
meningkatnya energi gerak pada setiap individu.
b.
Secara mental:
1.
individu dilanda kerisauan untuk menemukan jati diri dan
tujuan hidup mereka;
2.
keadaan mental remaja itu terus berlanjut dan untuk berusaha keras
suntuk menjadi mandiri;
3.
dalam melepaskan ketergantungan dari orang dewasa, pelbagai
individu ini kerap memperlihatkan perubahan mood yang ekstrem, dari yang
kooperatif hingga yang suka memberontak;
4.
kendali untuk dapat diterima lingkungan masih kuat, dan
individu-individu itu sangat memperhatikan popularitas, terutama bagi kalangan
yang berbeda kelamin; serta
5.
berbagai individu kerap mengalami beberapa masalah dengan
membuat penilaian sendiri.
2.3 Pengaruh
Perkembangan Karakteristik Terhadap Moral/Akhlak
a. Perkembangan
karakteristik berpikir, cara berfikir kausalitas
Hal ini menyangkut tentang hubungan sebab akibat. Remaja sudah
mulai berfikir kritis sehingga ia akan melawan bila orang tua, guru,
lingkungan, masih menganggapnya sebagai anak kecil. Mereka tidak akan terima
jika dilarang melakukan sesuatu oleh orang yang lebih tua tanpa diberikan
penjelasan yang logis. Misalnya, remaja makan didepan pintu, kemudian orang tua
melarangnya sambil berkata “pantang”. Sebagai remaja mereka akan menanyakan
mengapa hal itu tidak boleh dilakukan dan jika orang tua tidak bisa memberikan
jawaban yang memuaskan maka dia akan tetap melakukannya. Apabila guru/pendidik dan
oarang tua tidak memahami cara berfikir remaja, akibatnya akan menimbulkan
kenakalan remaja berupa perkelahian antar pelajar.[10] Perkembangan kognitif remaja, dalam pandangan Jean Piaget (seorang
ahli perkembangan kognitif) merupakan periode terakhir dan tertinggi dalam
tahap pertumbuhan operasi formal (period of formal operations). Pada periode
ini, idealnya para remaja sudah memiliki pola pikir sendiri dalam usaha
memecahkan masalah-masalah yang kompleks dan abstrak. Kemampuan berpikir para
remaja berkembang sedemikian rupa sehingga mereka dengan mudah dapat
membayangkan banyak alternatif pemecahan masalah beserta kemungkinan akibat
atau hasilnya.[11] Kapasitas berpikir secara logis dan abstrak mereka berkembang
sehingga mereka mampu berpikir multi-dimensi seperti ilmuwan. Para remaja tidak
lagi menerima informasi apa adanya, tetapi mereka akan memproses informasi itu
serta mengadaptasikannya dengan pemikiran mereka sendiri. Mereka juga mampu
mengintegrasikan pengalaman masa lalu dan sekarang untuk ditransformasikan
menjadi konklusi, prediksi, dan rencana untuk masa depan. Dengan kemampuan
operasional formal ini, para remaja mampu mengadaptasikan diri dengan
lingkungan sekitar mereka.
Pada kenyataan, di negara-negara berkembang (termasuk Indonesia)
masih sangat banyak remaja (bahkan orang dewasa) yang belum mampu sepenuhnya
mencapai tahap perkembangan kognitif operasional formal ini. Sebagian masih
tertinggal pada tahap perkembangan sebelumnya, yaitu operasional konkrit,
dimana pola pikir yang digunakan masih sangat sederhana dan belum mampu melihat
masalah dari berbagai dimensi.[12] Hal
ini bisa saja diakibatkan sistem pendidikan di Indonesia yang tidak banyak
menggunakan metode belajar-mengajar satu arah (ceramah) dan kurangnya perhatian
pada pengembangan cara berpikir anak. penyebab lainnya bisa juga diakibatkan
oleh pola asuh orangtua yang cenderung masih memperlakukan remaja sebagai
anak-anak, sehingga anak tidak memiliki keleluasan dalam memenuhi tugas
perkembangan sesuai dengan usia dan mentalnya. Semestinya, seorang remaja sudah
harus mampu mencapai tahap pemikiran abstrak supaya saat mereka lulus sekolah
menengah, sudah terbiasa berpikir kritis dan mampu untuk menganalisis masalah
dan mencari solusi terbaik. Dalam hal ini pengaruh pendidikan akhlak harus berperan
banyak untuk membentengi pikiran si anak agar tidak terjadi pemikiran-pemikiran
amoral yang memjerumuskan anak ke perbuatan-perbuatan anti sosial.
b. Perkembangan
karakteristik emosi yang cenderung meluap-meluap
Emosi pada remaja masih labil, karena erat hubungannya dengan
keadaan hormon. Mereka belum bisa mengontrol emosi dengan baik. Dalam satu
waktu mereka akan kelihatan sangat senang sekali tetapi mereka tiba-tiba
langsung bisa menjadi sedih atau marah. Contohnya pada remaja yang baru putus
cinta atau remaja yang tersinggung perasaannya.[13] Emosi
remaja lebih kuat dan lebih menguasai diri mereka daripada pikiran yang
realistis. Saat melakukan sesuatu mereka hanya menuruti ego dalam diri tanpa
memikirkan resiko yang akan terjadi. Sehingga sangat perlu sekali pendidikan
akhlak dalam jenjang ini, karena berguna untuk membentengi diri si anak dari
ego berlebih yang disebabkan oleh jiwa yang masih labil.
c. Perkembangan karakteristik dalam kehidupan
sosialnya
Sebagai makhluk sosial, individu dituntut untuk mampu mengatasi
segala permasalahan yang timbul sebagai hasil dari interaksi dengan lingkungan
sosial dan mampu menampilkan diri sesuai dengan aturan atau norma yang berlaku.
Oleh karena itu setiap individu dituntut untuk menguasai
ketrampilan-ketrampilan sosial dan kemampuan penyesuaian diri terhadap
lingkungan sekitarnya. Ketrampilan-ketrampilan tersebut biasanya disebut
sebagai aspek psikososial. Ketrampilan tersebut harus mulai dikembangkan sejak
masih anak-anak, misalnya dengan memberikan waktu yang cukup buat anak-anak
untuk bermain atau bercanda dengan teman-teman sebaya, memberikan tugas dan
tanggungjawab sesuai perkembangan anak, dsb. Dengan mengembangkan ketrampilan
tersebut sejak dini maka akan memudahkan anak dalam memenuhi tugas-tugas
perkembangan berikutnya sehingga ia dapat berkembang secara normal dan sehat.
Keterampilan sosial dan kemampuan penyesuaian diri menjadi semakin
penting manakala anak sudah menginjak masa remaja. Hal ini disebabkan karena
pada masa remaja individu sudah memasuki dunia pergaulan yang lebih luas dimana
pengaruh teman-teman dan lingkungan sosial akan sangat menentukan. [14]Kegagalan
remaja dalam menguasai ketrampilan-ketrampilan sosial akan menyebabkan dia
sulit menyesuaikan diri dengan lingkungan sekitarnya sehingga dapat menyebabkan
rasa rendah diri, dikucilkan dari pergaulan, cenderung berperilaku yang kurang
normatif (misalnya asosial ataupun anti sosial), dan bahkan dalam perkembangan
yang lebih ekstrim bisa menyebabkan terjadinya gangguan jiwa, kenakalan remaja,
tindakan kriminal, tindakan kekerasan, dsb.
Berdasarkan kondisi tersebut diatas maka amatlah penting bagi
remaja untuk dapat mengembangkan ketrampilan-ketrampilan sosial dan kemampuan
untuk menyesuaikan diri. Permasalahannya adalah bagaimana cara melakukan hal
tersebut dan aspek-aspek apa saja yang harus diperhatikan. Salah satu tugas
perkembangan yang harus dikuasai remaja yang berada dalam fase perkembangan
masa remaja madya dan remaja akhir adalah memiliki ketrampilan sosial (sosial
skill) untuk dapat menyesuaikan diri dengan kehidupan sehari-hari.
Ketrampilan-ketrampilan sosial tersebut meliputi kemampuan berkomunikasi,
menjalin hubungan dengan orang lain, menghargai diri sendiri & orang lain,
mendengarkan pendapat atau keluhan dari orang lain, memberi atau menerima
feedback, memberi atau menerima kritik, bertindak sesuai norma dan aturan yang
berlaku, dsb. Apabila keterampilan sosial dapat dikuasai oleh remaja pada fase
tersebut maka ia akan mampu menyesuaikan diri dengan lingkungan sosialnya. Hal
ini berarti pula bahwa sang remaja tersebut mampu mengembangkan aspek
psikososial dengan maksimal. Jadi tidak mengherankan jika pada masa ini remaja
mulai mencari perhatian dari ingkungannya dan berusaha mendapatkan status atau
peranan, misalnya mengikuti kegiatan remaja dikampung dan dia diberi peranan
dimana dia bisa menjalankan peranan itu dengan baik. Sebaliknya jika remaja
tidak diberi peranan, dia akan melakukan perbuatan untuk menarik perhatian
lingkungan sekitar dan biasanya cenderung ke arah perilaku negatif.
Pola hubungan sosial remaja lain adalah dimulainya rasa tertarik
pada lawan jenisnya dan mulai mengenal istilah pacaran. Jika dalam hal ini
orang tua kurang mengerti dan melarangnya maka akan menimbulkan masalah
sehingga remaja cenderung akan bersikap tertutup pada orang tua mereka. Anak
perempuan secara biologis dan karakter lebih cepat matang daripada anak
laki-laki.
Dalam hal ini jika anak tidak dibentengi dengan akhlak al-karimah
seperti yang sudah disebutkan sebelumnya, maka akan sulit dihindarkan
perbuatan-perbuatan negatif yang tentu saja tidak diharapkan oleh orang tua
maupun masyarakat sendiri.
d. Perkembangan karakteristik kepribadian
Secara umum
penampilan sering diindentikkan dengan manifestasi dari kepribadian seseorang,
namun sebenarnya tidak. Karena apa yang tampil tidak selalu mengambarkan
pribadi yang sebenarnya (bukan aku yang sebenarnya). Dalam hal ini amatlah
penting bagi remaja untuk tidak menilai seseorang berdasarkan penampilan
semata, sehingga orang yang memiliki penampilan tidak menarik cenderung
dikucilkan. Disinilah pentingnya orangtua memberikan penanaman nilai-nilai yang
menghargai harkat dan martabat orang lain tanpa mendasarkan pada hal-hal fisik
seperti materi atau penampilan.[15]
2.4
Strategi Pendidikan dan Pembinaan Akhlak Siswa Menengah Atas
Secara teknis, penerapan pendidikan akhlak pada siswa
menengah atas setidaknya dapat ditempuh melalui empat alternatif strategi
secara terpadu melalui jalur pendidikan formalnya.
- Strategi pertama ialah dengan mengintegrasikan
konten kurikulum pendidikan akhlak yang telah dirumuskan ke dalam seluruh
mata pelajaran yang relevan, terutama mata pelajaran agama, kewarganegaraan, dan bahasa (baik bahasa
Indonesia maupun bahasa daerah).
- Strategi kedua ialah dengan mengintegrasikan
pendidikan akhlak ke dalam kegiatan sehari-hari di sekolah.
- Strategi ketiga ialah dengan mengintegrasikan
pendidikan akhlak ke dalam kegiatan yang diprogramkan atau direncanakan.
- Strategi keempat ialah dengan membangun
komunikasi dan kerjasama antara sekolah dengan orang tua peserta didik.[16]
Jika berbicara mengenai masalah
pembinaan dan pembentukan akhlak sama dengan berbicara mengenai tujuan
pendidikan. Karena banyak sekali dijumpai pendapat para ahli yang mengatakan
bahwa tujuan pendidikan adalah pembentukan dan pembinaan akhlak mulia. Ada dua
pendapat terkait dengan masalah pembinaan akhlak. Pendapat pertama mengatakan bahwa
akhlak tidak perlu dibina, karena menurut aliran ini akhlak tumbuh dengan
sendirinya tanpa dibina. Akhlak adalah gambaran batin yang tercermin dalam
perbuatan. Pendapat kedua mengatakan bahwa akhlak adalah hasil dari pendidikan,
latihan, pembinaan dan perjuangan keras serta sungguh-sungguh. Menurut Imam
Ghazali seperti dikutip Fathiyah Hasan berpendapat “sekiranya tabiat manusia
tidak mungkin dapat dirubah, tentu nasehat dan bimbingan tidak ada gunanya.”
Beliau menegaskan sekiranya akhlak itu tidak dapat menerima perubahan niscaya
fatwa, nasehat dan pendidikan itu adalah hampa.
Namun dalam kenyataannya di lapangan banyak usaha yang
telah dilakukan orang dalam membentuk akhlak yang mulia. Lahirnya
lembaga-lembaga pendidikan dalam rangka pembinaan akhlak akan semakin
memperkuat pendapat bahwa akhlak memang perlu dibina dan dilatih. Karena Islam
telah memberikan perhatian yang besar dalam rangka membentuk akhlak mulia.
Akhlak yang mulia merupakan cermin dari keimanan yang bersih.
Adapun metode pembinaan akhlak adalah :
a. Metode
Keteladanan
Yang dimaksud dengan metode
keteladanan yaitu suatu metode pendidikan dengan cara memberikan contoh yang
baik kepada peserta didik, baik di dalam ucapan maupun perbuatan. Murid-murid
cenderung meneladani gurunya dan menjadikannya sebagai tokoh identifikasi dalam
segala hal dalam rangka pertumbuhannya menuju kedewasaan. Karena pada jenjang
menengah atas, peserta didik sulai mencari sosok yang bisa dijadikan panutan
untuk bahan acuannya di masa datang. Sehingga pengaruh teladan dari pendidik
sangat berperan penting dalam implementasi akhlak peserta didik.
b. Metode Pembiasaan
Pembiasaan dapat dilakukan untuk
membiasakan pada tingkah laku, keterampilan, kecakapan dan pola pikir.
Pembiasaan ini bertujuan untuk mempermudah melakukannya. Karena seseorang yang
telah mempunyai kebiasaan tertentu akan dapat melakukannya dengan mudah dan
senang hati. Bahkan sesuatu yang telah dibiasakan dan akhirnya menjadi
kebiasaan dalam usia muda itu sulit untuk dirubah dan tetap berlangsung sampai
hari tua. Maka diperlukan terapi dan pengendalian diri yang sangat serius untuk
dapat merubahnya.
c. Metode
Memberi Nasihat
Dalam metode memberi nasihat ini
pendidik mempunyai kesempatan yang luas untuk mengarahkan peserta didik kepada
berbagai kebaikan dan kemaslahatan umat. Di antaranya dengan menggunakan
kisah-kisah Qur’ani, baik kisah nabawi maupun umat terdahulu yang banyak
mengandung pelajaran yang dapat dipetik. Namun dalam penyampaian nasehat ini
pendidik harus lebih kreatif, karena daya cerna peserta didik yang sudah tinggi
dan juga bahasa yang digunakan juga harus sesuai dengan keadaan jiwa dan
emosional peserta didik sehingga cerita yang bertanamkan nilai-nilai akhlak dan
moral tersebut dapat masuk secara tidak sadar ke dalam diri peserta didik.
d. Metode
Motivasi dan Intimidasi
Penggunaan metode motivasi sejalan
dengan apa yang ada dalam psikologi belajar disebut sebagai law of happines
atau prinsip yang mengutamakan suasana menyenangkan dalam belajar. Sedang
metode intimidasi dan hukuman baru digunakan apabila metode-metode lain seperti
nasihat, petunjuk dan bimbingan tidak berhasil untuk mewujudkan tujuan. Metode
ini tidak jauh berbeda dengan metode memberi nasehat. Metode ini juga akan
sangat efektif apabila dalam penyampaiannya menggunakan bahasa yang menarik dan
meyakinkan pihak yang mendengar. Oleh hendaknya pendidik bisa meyakinkan
muridnya ketika menggunakan metode ini. Namun sebaliknya apabila bahasa yang
digunakan kurang meyakinkan maka akan membuat murid tersebut malas
memperhatikannya.
e. Metode
Persuasi
Metode persuasi adalah meyakinkan
peserta didik tentang sesuatu ajaran dengan kekuatan akal. Penggunaan metode
persuasi didasarkan atas pandangan bahwa manusia adalah makhluk yang berakal.
Artinya Islam memerintahkan kepada manusia untuk menggunakan akalnya dalam
membedakan antara yang benar dan salah serta atau yang baik dan buruk. Penggunaan
metode persuasi ini dalam pendidikan Islam menandakan bahwa pentingnya
memperkenalkan dasar-dasar rasional dan logis kepada peserta didik agar mereka
terhindar dari meniru yang tidak didasarkan pertimbangan rasional dan pengetahuan.
2.5
Pendidikan Al-Karimah dalam Pembentukan Karakter Siswa
Pertanyaan yang
tepat untuk pembahasan ini adalah “ Mengapa Pendidikan Karakter
Al-Karimah Penting?
Indonesia sejatinya adalah bangsa dan negara besar, negara
kepulauan terbesar di dunia, jumlah umat muslim terbesar di dunia, bangsa multi
etnik dan bahasa namun bersatu, memiliki warisan sejarah yang menakjubkan dan
kreatifitas anak negeri seperti batik, aneka makanan dan kerajinan yang
eksotik, kekayaan serta keindahan alam yang luar biasa. Akan tetapi modal yang
besar itu seakan tidak banyak berarti apabila mentalitas bangsa ini belum
terbangun atau belum berubah ke arah yang lebih baik. [17]Mentalitas
bangsa Indonesia yang kurang kondusif atau menjadi penghambat kejayaan bangsa
Indonesia menjadi bangsa maju antara lain: malas, tidak disiplin, suka
melanggar aturan, ngaji pumpung, suka menerabas, dan nepotisme. Selama
mental sebuah bangsa tersebut tidak berubah, maka bangsa tersebut juga tidak
akan mengalami perubahan dan akan tertinggal dengan bangsa-bangsa lain,
meskipun bangsa tersebut sesungguhnya memiliki potensi dan modal yang besar.
Allah dalam hal ini secara tegas mengatakan: “Sesungguhnya Allah tidak mengubah
keadaan sesuatu kaum sehingga mereka mengubah keadaan yang ada pada diri mereka
sendiri.”[18] Media
yang paling ampuh untuk merubah mentalitas bangsa adalah lewat pendidikan dan
keyakinan agama. Pendidikan yang mampu merubah mentalitas adalah pendidikan
yang dilaksanakan dengan sungguh-sungguh dan sepenuh hati, bukan hanya sekedar
formalitas atau kepura-puraan. Keyakinan agama juga besar pengaruhnya bagi
mentalitas bangsa. Karena itu melalui pendidikan agama yang mampu menanamkan
keimanan yang benar, ibadah yang benar dan akhlakul karimah, niscaya akan
menjadikan anak didik sebagai manusia terbaik, yaitu yang bermanfaat bagi orang
lain melalui amal shalehnya. Permasalahan lain yang menimpa Bangsa Indonesia adalah
masih adanya konflik sosial di berbagai tempat, sering mengedepankan cara
kekerasan dalam menyelesaikan berbagai permasalahan, praktek korupsi yang
semakin canggih dan massif, sering terjadi perkelahian antar pelajar,
pelanggaran etika dan susila yang semakin vulgar, munculnya aliran yang
dianggap sesat dan cara-cara penyelesaiannya yang cenderung menggunakan
kekerasan, tindakan kejahatan yang mengancam ketenteraman dan keamanan, praktek
demokrasi liberal yang ekstreem dalam berbagai aspek kehidupan sehingga
bertabrakan dengan budaya dan nilai-nilai kepatutan sebagai bangsa Timur dan
bangsa yang religius. Sebagai bangsa Muslim terbesar di dunia, Indonesia juga
masih menghadapi persoalan yang serius dalam kehidupan berbangsa dan bernegara,
antara lain masih adanya sebagian umat Islam yang belum at home sebagai
Bangsa Indonesia. Mereka belum sepenuhnya menerima keberadaan Negara Kesatuan
Republik Indonesia yang berdasar Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 sebagai
bentuk negara yang final. Masih adanya sebagian umat yang belum memiliki
kemampuan dan keterampilan untuk hidup bersama dalam keberbedaan. Impak dari
sikap itu antara lain berupa masih kuatnya eksklusifitas, maraknya
gerakan-gerakan umat yang kontra produktif, seperti terorisme, garakan-gerakan
bawah tanah yang bertujuan mengganti bentuk negara, berbagai bentuk
pembangkangan dan bahkan perlawanan terhadap negara dan pemerintahan yang sah.
Akibat dari sikap sebagian umat Islam ini sangat luas, berangkai dan kontra
produktif bagi bangsa dan negara, dan khususnya bagi umat Islam.[19]
Permasalahan yang serius juga terjadi di dunia pendidikan. Pelanggaran etika
sosial dan susila serta kekerasan dalam berbagai bentuknya sering terjadi
seperti: perkelaian antar pelajar, seks bebas, tindak pidana, sikap tidak
etis terhadap guru, berbagai bentuk pelanggaran tata tertib sekolah, dan minimnya
prestasi dan kejayaan yang dicapai para pelajar kita.
Permasalahan bangsa tersebut di atas semakin
diperparah dengan tayangan telivisi yang sangat vulgar, life, tidak mengenal
waktu tayang, dan diulang-ulang oleh hampir semua stasiun TV dan juga surat
kabar. Peristiwa pembunuhan, pemerkosaan, perkelaian, perampokan, pembakaran,
demo yang anarkis, tidakan aparat yang represif, perceraian, terorisme dan
berbagai bentuk tindakan kejahatan justru menjadi menu utama dan disiarkan
dalam berbagai bentuk tayangan (berita, peristiwa, sinetron, dialog dan
lain-lain). Semboyan wartawan adalah “bad news is good news”. Berita baik
apabila ada unsur ‘blood” dan “crowd”. Tindakan memperolok, memfitnah,
menghina, mengadu domba, pembunuhan karakter justru difasilitasi oleh media.
Fenomena di atas, apabila kita renungkan akan
menimbulkan keprihatinan yang mendalam. Prihatin terhadap kualitas generasi
muda di masa depan, prihatin terhadap citra dan daya saing bangsa kita yang
semakin rendah dan direndahkan oleh bangsa-bangsa lain. Kondisi tersebut tentu
saja sangat memprihatinkan. Kondisi ini menuntut semua pihak untuk mengambil
peran masing-masing guna menyelamatkan generasi muda dan bangsa. Kaum agamawan
sebagai penjaga etika dan moral masyarakat termasuk di dalamnya guru agama harus
diberdayakan agar dapat mengambil peran secara signifikan. Demikian juga
pendidikan akhlak yang memiliki peran strategis harus semakin ditingkatkan mutu
dan relevansinya bagi upaya pembangunan moral bangsa. Pendidikan akhlak di
sekolah perlu direkonstruksi agar dapat memerankan tugas dan fungsinya secara
efektif yaitu membangun akhlak (etika dan moral) generasi penerus bangsa.
Dalam hal ini perhatian Guru dalam mendidik dan
membina kehidupan beragama di sekolah memberikan pengaruh positif dalam
pembentukan akhlak remaja, Guru Islam memiliki peranan penting dalam
pembentukan akhlak remaja, karena Guru adalah sebagai sosok insan yang
berwibawa dan dihormati oleh anak. Selain
bimbingan akhlak di sekolah juga diperlukan proses pembelajaran akhlak di dalam
rumah tangga atau di lingkungan masyarakat melalui didikan nilai-nilai moral secara
non formal agar anak-anak bergaul dengan orang-orang di masyarakat yang
mengandung sifat positif. Sebab bila tidak diarahkan akan mengakibatkan
pengaruh buruk bagi anak sehingga masa depan anak tersebut sebagai generasi
penerus bangsa akan buruk pula.
MAKALAH ILMU PENDIDIKAN KELOMPOK 8