Senin, 10 Juni 2013

MAKALAH ILMU PENDIDIKAN KELOMPOK 8



BAB II
PEMBAHASAN
2.1  Akhlak Al-Karimah
Dari sudut kebahasaan, akhlak berasal dari bahasa Arab yaitu isim masdar dari kata (akhlaqa, yukhliku, ikhlaqan) yang berarti perangai, kelakuan, tabiat, watak dasar. Secara Istilah, akhlak dapat diartikan sebagai  gambaran atau bayangan dari jiwa seseorang, mereka berbuat, bertindak, atau bertingkah laku berdasarkan apa yang tertanam dalam jiwanya dan telah menjadi kebiasaan setiap hari tanpa ada pengaruh atau dorongan dari pihak lain, mereka melakukan secara spontan tanpa pertimbangan pikiran sebelumnya.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia sendiri akhlak diartikan sebagai kalakuan atau budi pekerti. Yang mana kelakuan tersebut dapat terbentuk dan dibentuk baik oleh fak-r internal maupun eksternal individu. Maka oleh karena itu diperlukan adanya pendidikan mengenai akhlak atau kelakuan atau budi pekerti tersebut. Pada hakekatnya, pendidikan budi pekerti memiliki substansi dan makna yang sama dengan pendidikan moral dan pendidikan akhlak. Yang mana menurut Haidar pendidikan budi pekerti itu adalah usaha sadar yang dilakukan dalam rangka menanamkan atau menginternalisasikan nilai-nilai moral ke dalam sikap dan prilaku peserta didik agar memiliki sikap dan prilaku yang luhur (berakhlakul karimah) dalam kehidupan sehari-hari, baik dalam berinteraksi dengan Tuhan, dengan sesama manusia maupun dengan alam atau lingkungan.[1]
Tujuan pendidikan budi pekerti adalah untuk mengembangkan nilai, sikap dan prilaku siswa yang memancarkan akhlak mulia/budi pekerti luhur.[2] Hal ini mengandung arti bahwa dalam pendidikan budi pekerti, nilai-nilai yang ingin dibentuk adalah nilai-nilai akhlak yang mulia, yaitu tertanamnya nilai-nilai akhlak yang mulia ke dalam diri peserta didik yang kemudian terwujud dalam tingkah lakunya.
Dalam kacamata Islam sendiri, akhlak merupakan implikasi akidah yang akan berjalan secara seimbang. Dalam arti, bahwa apabila akidah seseorang telah benar, semestinya tercermin dalam perilakunya yang baik dan terpuji. Sebaliknya, jika pertumbuhan akidah kurang sehat, maka tampilan perilaku dan kehidupan juga kurang menggembirakan. Akan tetapi, sebaliknya, tidak secara otomatis. Dalam arti bahwa tidak semua orang yang berperilaku baik, dalam waktu yang sama mempunyai gambaran (tasawwur) tentang akidah yang baik dan benar. Begitu banyak kita saksikan orang-orang di luar Islam, secara kemanusiaan, tergolong “baik”, karena pandai bergaul, penampilannya simpatik, hubungan sosialnya menyenangkan, namun tidak dapat diklaim sebagai orang yang berakhlak al-karimah, karena persoalan akhlak berkaitan langsung dengan dimensi akidah. [3]
Selain itu, konotasi akhlak dalam Islam tidak hanya sebatas dimensi horizontal (kemanusiaan), tetapi mencakup akhlak kepada Allah swt, (dimensi vertical). Dua cakupan ini merupakan satu kesatuan yang utuh dan tak dapat dipisah-pisahkan satu dengan yang lain. Kekeliruan banyak orang ketika membatasi pengertian akhlak hanya pada dataran horizontal dan langsung menjadikannya sebagai parameter untuk mengukur “baik” atau “tidak baik”.[4]
Dalam Islam tolak ukur yang dipakai adalah “benar “ atau “tdak benar”. Sesuatu yang “tidak benar”, betapapun performance-nya simpatik, rasa sosialnya menakjubkan, ia dengan serta merta akan jatuh tanpa nilai. Dan yang dinilai “benar”, maka “eksterior”nya pun tampil dengan baik dan simpatik. Eksistensi akhlak dalam kehidupan manusia menempati posisi yang sangat penting, baik sebagai individu, sebagai masyarakat dan bangsa. Sebab jatuh bangunnya, jaya hancurnya, sejahtera rusaknya suatu bangsa, masyarakat dan bangsa tergantung kepada bagaimana akhlaknya. Apabila akhlaknya baik (berakhlak), akan sejahteralah lahir batinnya, tetapi apabila akhlaknya buruk (tidak berakhlak), rusaklah lahir batinnya. Rasulullah SAW., merupakan contoh puncak dari sosok seorang yang mulia. Hal ini sebagaimana tercermin dari sikapnya yang merupakan conh yang ideal dan paling sempurna. Sosok Rasulalah sebagai manusia yang ideal dan paling sempurna jelas tergambar dalam al-quran. Kehadiran beliau sebagai seorang yang mengemban tugas untuk menyempurnakan akhlak. Karena itu, adalah pada tempatnya apabila perbaikan akhlak merupakan salah satu sasaran utama Islam.[5]
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa akhlak merupakan suatu ilmu yang memberikan batasan-batasan antara yang baik dan yang buruk, antara yang terpuji dan yang tercela, baik perkataan maupun perbuatan manusia atau mengatur umat manusia guna mencapai tujuan hidup baik lahir maupun batin di dunia atau di akhirat.

2.2  Mengenal Karakter Siswa Menengah Atas
Karakter merupakan nilai-nilai perilaku manusia yang berhubungan dengan Tuhan Yang Maha Esa, diri sendiri, sesama manusia, lingkungan, dan kebangsaan yang terwujud dalam pikiran, sikap, perasaan, perkataan, dan perbuatan berdasarkan norma-norma agama, hukum, tata krama, budaya, dan adat istiadat.
Karakter adalah sifat pribadi yang relatif stabil pada diri individu yang menjadi landasan bagi penampilan perilaku dalam standar nilai dan norma yang tinggi yang berbasis pada nilai dan norma.[6] Ada tujuh nilai-nilai standar yang memandu perilaku seseorang, yaitu :
1.      isu sosial
2.      kecenderungan arah ideologi religius atau politis
3.      memandu diri sendiri
4.      sebagai standard untuk evaluasi diri dan orang lain
5.      sebagai dasar perbandingan kemampuan dan kesusilaan
6.      sebagai standar untuk membujuk dan mempengaruhi orang lain, dan
7.      sebagai standar merasionalkan sesuatu hal, sikap dan tindakan melindungi, memelihara, dan tentang mengagumi sesuatu/seseorang atau diri sendiri.[7]
Cole menyatakan periodesasi perkembangan manusia sebagai berikut:
Periode
Umur
Masa Batita
Masa kanak-kanak
Pertengahan masa kanak-kanak

Setelah Masa Kanak-kanak

Mendekati Remaja

Pertengahan masa remaja

Akhir masa remaja

Mendekati Dewasa
Pertengahan masa dewasa
Akhir masa dewasa
Lahir s/d 2 tahun
2 s/d 6 tahun
6 s/d 11 tahun (perempuan)
6 s/d 13 tahun (laki-laki)
11 s/d 13 tahun (perempuan)
13 s/d 15 tahun (laki-laki)
13 s/d 15 tahun (perempuan)
15 s/d 17 tahun (laki-laki)
15 s/d 18 tahun (perempuan)
17 s/d 19 tahun (laki-laki)
18 s/d 21 tahun (perempuan)
19 s/d 21 tahun (laki-laki)
21 s/d 35 tahun (l/p)
35 s/d 50 tahun (l/p)
50 s/d 65 tahun (l/p)
Berdasarkan periodesasi perkembangan manusia di atas, siswa SMA yang rata-rata berada pada usia antara 15-19 tahun berada pada pertengahan masa remaja (middle adolescence).[8]
Remaja adalah masa yang penuh dengan permasalahan. Statemen ini sudah dikemukakan jauh pada masa lalu yaitu di awal abad ke-20 oleh Bapak Psikologi Remaja yaitu Stanley Hall. Pendapat Stanley Hall pada saat itu yaitu bahwa masa remaja merupakan masa badai dan tekanan (storm and stress) sampai sekarang masih banyak dikutip orang. Menurut Erickson masa remaja adalah masa terjadinya krisis identitas atau pencarian identitas diri. Gagasan Erickson ini dikuatkan oleh James Marcia yang menemukan bahwa ada empat status identitas diri pada remaja yaitu identity diffusion/ confussion, moratorium, foreclosure, dan identity achieved.[9] Karakteristik remaja yang sedang berproses untuk mencari identitas diri ini juga sering menimbulkan masalah pada diri remaja.
Karena belum memiliki pedoman hidup, seorang remaja akan memerlukan sesuatu yang dapat dianggap sebagai sesuatu yang bernilai, pantas dihargai, dan dipanuti. Pada awalnya, sesuatu yang dipuja itu belum memiliki bentuk tertentu. Si remaja sendiri hanya tahu bahwa dia menginginkan sesuatu tetapi tidak tahu apa yang diinginkannya. Keadaan seperti ini biasanya melahirkan sajak-sajak alam.
Menurut Hunkins, siswa SMA cenderung  berkarakteristik  berikut.
a.      Secara fisik:
1.      umumnya individu telah mempunyai kematangan yang lengkap;
2.      individu-individu ini kian menyerupai orang dewasa: tulang-tulang tumbuh kian lengkap, dan sosoknya kian tinggi; serta
3.      meningkatnya energi gerak pada setiap individu.
b.      Secara mental:
1.      individu dilanda kerisauan  untuk menemukan jati diri dan tujuan hidup mereka;
2.      keadaan mental remaja itu terus berlanjut dan untuk berusaha keras suntuk menjadi mandiri;
3.      dalam melepaskan ketergantungan dari orang dewasa, pelbagai individu ini kerap memperlihatkan perubahan mood yang ekstrem, dari yang kooperatif hingga yang suka memberontak;
4.      kendali untuk dapat diterima lingkungan masih kuat, dan individu-individu itu sangat memperhatikan popularitas, terutama bagi kalangan yang berbeda kelamin; serta
5.      berbagai individu kerap mengalami beberapa masalah  dengan membuat penilaian sendiri.

2.3  Pengaruh Perkembangan Karakteristik Terhadap Moral/Akhlak
a.       Perkembangan karakteristik berpikir, cara berfikir kausalitas
Hal ini menyangkut tentang hubungan sebab akibat. Remaja sudah mulai berfikir kritis sehingga ia akan melawan bila orang tua, guru, lingkungan, masih menganggapnya sebagai anak kecil. Mereka tidak akan terima jika dilarang melakukan sesuatu oleh orang yang lebih tua tanpa diberikan penjelasan yang logis. Misalnya, remaja makan didepan pintu, kemudian orang tua melarangnya sambil berkata “pantang”. Sebagai remaja mereka akan menanyakan mengapa hal itu tidak boleh dilakukan dan jika orang tua tidak bisa memberikan jawaban yang memuaskan maka dia akan tetap melakukannya. Apabila guru/pendidik dan oarang tua tidak memahami cara berfikir remaja, akibatnya akan menimbulkan kenakalan remaja berupa perkelahian antar pelajar.[10] Perkembangan kognitif remaja, dalam pandangan Jean Piaget (seorang ahli perkembangan kognitif) merupakan periode terakhir dan tertinggi dalam tahap pertumbuhan operasi formal (period of formal operations). Pada periode ini, idealnya para remaja sudah memiliki pola pikir sendiri dalam usaha memecahkan masalah-masalah yang kompleks dan abstrak. Kemampuan berpikir para remaja berkembang sedemikian rupa sehingga mereka dengan mudah dapat membayangkan banyak alternatif pemecahan masalah beserta kemungkinan akibat atau hasilnya.[11] Kapasitas berpikir secara logis dan abstrak mereka berkembang sehingga mereka mampu berpikir multi-dimensi seperti ilmuwan. Para remaja tidak lagi menerima informasi apa adanya, tetapi mereka akan memproses informasi itu serta mengadaptasikannya dengan pemikiran mereka sendiri. Mereka juga mampu mengintegrasikan pengalaman masa lalu dan sekarang untuk ditransformasikan menjadi konklusi, prediksi, dan rencana untuk masa depan. Dengan kemampuan operasional formal ini, para remaja mampu mengadaptasikan diri dengan lingkungan sekitar mereka.
Pada kenyataan, di negara-negara berkembang (termasuk Indonesia) masih sangat banyak remaja (bahkan orang dewasa) yang belum mampu sepenuhnya mencapai tahap perkembangan kognitif operasional formal ini. Sebagian masih tertinggal pada tahap perkembangan sebelumnya, yaitu operasional konkrit, dimana pola pikir yang digunakan masih sangat sederhana dan belum mampu melihat masalah dari berbagai dimensi.[12] Hal ini bisa saja diakibatkan sistem pendidikan di Indonesia yang tidak banyak menggunakan metode belajar-mengajar satu arah (ceramah) dan kurangnya perhatian pada pengembangan cara berpikir anak. penyebab lainnya bisa juga diakibatkan oleh pola asuh orangtua yang cenderung masih memperlakukan remaja sebagai anak-anak, sehingga anak tidak memiliki keleluasan dalam memenuhi tugas perkembangan sesuai dengan usia dan mentalnya. Semestinya, seorang remaja sudah harus mampu mencapai tahap pemikiran abstrak supaya saat mereka lulus sekolah menengah, sudah terbiasa berpikir kritis dan mampu untuk menganalisis masalah dan mencari solusi terbaik. Dalam hal ini pengaruh pendidikan akhlak harus berperan banyak untuk membentengi pikiran si anak agar tidak terjadi pemikiran-pemikiran amoral yang memjerumuskan anak ke perbuatan-perbuatan anti sosial.
b.      Perkembangan karakteristik emosi yang cenderung meluap-meluap
Emosi pada remaja masih labil, karena erat hubungannya dengan keadaan hormon. Mereka belum bisa mengontrol emosi dengan baik. Dalam satu waktu mereka akan kelihatan sangat senang sekali tetapi mereka tiba-tiba langsung bisa menjadi sedih atau marah. Contohnya pada remaja yang baru putus cinta atau remaja yang tersinggung perasaannya.[13] Emosi remaja lebih kuat dan lebih menguasai diri mereka daripada pikiran yang realistis. Saat melakukan sesuatu mereka hanya menuruti ego dalam diri tanpa memikirkan resiko yang akan terjadi. Sehingga sangat perlu sekali pendidikan akhlak dalam jenjang ini, karena berguna untuk membentengi diri si anak dari ego berlebih yang disebabkan oleh jiwa yang masih labil.

c.       Perkembangan karakteristik dalam kehidupan sosialnya
Sebagai makhluk sosial, individu dituntut untuk mampu mengatasi segala permasalahan yang timbul sebagai hasil dari interaksi dengan lingkungan sosial dan mampu menampilkan diri sesuai dengan aturan atau norma yang berlaku.
Oleh karena itu setiap individu dituntut untuk menguasai ketrampilan-ketrampilan sosial dan kemampuan penyesuaian diri terhadap lingkungan sekitarnya. Ketrampilan-ketrampilan tersebut biasanya disebut sebagai aspek psikososial. Ketrampilan tersebut harus mulai dikembangkan sejak masih anak-anak, misalnya dengan memberikan waktu yang cukup buat anak-anak untuk bermain atau bercanda dengan teman-teman sebaya, memberikan tugas dan tanggungjawab sesuai perkembangan anak, dsb. Dengan mengembangkan ketrampilan tersebut sejak dini maka akan memudahkan anak dalam memenuhi tugas-tugas perkembangan berikutnya sehingga ia dapat berkembang secara normal dan sehat.
Keterampilan sosial dan kemampuan penyesuaian diri menjadi semakin penting manakala anak sudah menginjak masa remaja. Hal ini disebabkan karena pada masa remaja individu sudah memasuki dunia pergaulan yang lebih luas dimana pengaruh teman-teman dan lingkungan sosial akan sangat menentukan. [14]Kegagalan remaja dalam menguasai ketrampilan-ketrampilan sosial akan menyebabkan dia sulit menyesuaikan diri dengan lingkungan sekitarnya sehingga dapat menyebabkan rasa rendah diri, dikucilkan dari pergaulan, cenderung berperilaku yang kurang normatif (misalnya asosial ataupun anti sosial), dan bahkan dalam perkembangan yang lebih ekstrim bisa menyebabkan terjadinya gangguan jiwa, kenakalan remaja, tindakan kriminal, tindakan kekerasan, dsb.
Berdasarkan kondisi tersebut diatas maka amatlah penting bagi remaja untuk dapat mengembangkan ketrampilan-ketrampilan sosial dan kemampuan untuk menyesuaikan diri. Permasalahannya adalah bagaimana cara melakukan hal tersebut dan aspek-aspek apa saja yang harus diperhatikan. Salah satu tugas perkembangan yang harus dikuasai remaja yang berada dalam fase perkembangan masa remaja madya dan remaja akhir adalah memiliki ketrampilan sosial (sosial skill) untuk dapat menyesuaikan diri dengan kehidupan sehari-hari. Ketrampilan-ketrampilan sosial tersebut meliputi kemampuan berkomunikasi, menjalin hubungan dengan orang lain, menghargai diri sendiri & orang lain, mendengarkan pendapat atau keluhan dari orang lain, memberi atau menerima feedback, memberi atau menerima kritik, bertindak sesuai norma dan aturan yang berlaku, dsb. Apabila keterampilan sosial dapat dikuasai oleh remaja pada fase tersebut maka ia akan mampu menyesuaikan diri dengan lingkungan sosialnya. Hal ini berarti pula bahwa sang remaja tersebut mampu mengembangkan aspek psikososial dengan maksimal. Jadi tidak mengherankan jika pada masa ini remaja mulai mencari perhatian dari ingkungannya dan berusaha mendapatkan status atau peranan, misalnya mengikuti kegiatan remaja dikampung dan dia diberi peranan dimana dia bisa menjalankan peranan itu dengan baik. Sebaliknya jika remaja tidak diberi peranan, dia akan melakukan perbuatan untuk menarik perhatian lingkungan sekitar dan biasanya cenderung ke arah perilaku negatif.
Pola hubungan sosial remaja lain adalah dimulainya rasa tertarik pada lawan jenisnya dan mulai mengenal istilah pacaran. Jika dalam hal ini orang tua kurang mengerti dan melarangnya maka akan menimbulkan masalah sehingga remaja cenderung akan bersikap tertutup pada orang tua mereka. Anak perempuan secara biologis dan karakter lebih cepat matang daripada anak laki-laki.
Dalam hal ini jika anak tidak dibentengi dengan akhlak al-karimah seperti yang sudah disebutkan sebelumnya, maka akan sulit dihindarkan perbuatan-perbuatan negatif yang tentu saja tidak diharapkan oleh orang tua maupun masyarakat sendiri.
d.      Perkembangan karakteristik kepribadian
Secara umum penampilan sering diindentikkan dengan manifestasi dari kepribadian seseorang, namun sebenarnya tidak. Karena apa yang tampil tidak selalu mengambarkan pribadi yang sebenarnya (bukan aku yang sebenarnya). Dalam hal ini amatlah penting bagi remaja untuk tidak menilai seseorang berdasarkan penampilan semata, sehingga orang yang memiliki penampilan tidak menarik cenderung dikucilkan. Disinilah pentingnya orangtua memberikan penanaman nilai-nilai yang menghargai harkat dan martabat orang lain tanpa mendasarkan pada hal-hal fisik seperti materi atau penampilan.[15]

2.4  Strategi Pendidikan dan Pembinaan Akhlak Siswa Menengah Atas
Secara teknis, penerapan pendidikan akhlak pada siswa menengah atas setidaknya dapat ditempuh melalui empat alternatif strategi secara terpadu melalui jalur pendidikan formalnya.
  • Strategi pertama ialah dengan mengintegrasikan konten kurikulum pendidikan akhlak yang telah dirumuskan ke dalam seluruh mata pelajaran yang relevan, terutama mata pelajaran agama, kewarganegaraan, dan bahasa (baik bahasa Indonesia maupun bahasa daerah).
  • Strategi kedua ialah dengan mengintegrasikan pendidikan akhlak ke dalam kegiatan sehari-hari di sekolah.
  • Strategi ketiga ialah dengan mengintegrasikan pendidikan akhlak ke dalam kegiatan yang diprogramkan atau direncanakan.
  • Strategi keempat ialah dengan membangun komunikasi dan kerjasama antara sekolah dengan orang tua peserta didik.[16]
Jika berbicara mengenai masalah pembinaan dan pembentukan akhlak sama dengan berbicara mengenai tujuan pendidikan. Karena banyak sekali dijumpai pendapat para ahli yang mengatakan bahwa tujuan pendidikan adalah pembentukan dan pembinaan akhlak mulia. Ada dua pendapat terkait dengan masalah pembinaan akhlak. Pendapat pertama mengatakan bahwa akhlak tidak perlu dibina, karena menurut aliran ini akhlak tumbuh dengan sendirinya tanpa dibina. Akhlak adalah gambaran batin yang tercermin dalam perbuatan. Pendapat kedua mengatakan bahwa akhlak adalah hasil dari pendidikan, latihan, pembinaan dan perjuangan keras serta sungguh-sungguh. Menurut Imam Ghazali seperti dikutip Fathiyah Hasan berpendapat “sekiranya tabiat manusia tidak mungkin dapat dirubah, tentu nasehat dan bimbingan tidak ada gunanya.” Beliau menegaskan sekiranya akhlak itu tidak dapat menerima perubahan niscaya fatwa, nasehat dan pendidikan itu adalah hampa.
Namun dalam kenyataannya di lapangan banyak usaha yang telah dilakukan orang dalam membentuk akhlak yang mulia. Lahirnya lembaga-lembaga pendidikan dalam rangka pembinaan akhlak akan semakin memperkuat pendapat bahwa akhlak memang perlu dibina dan dilatih. Karena Islam telah memberikan perhatian yang besar dalam rangka membentuk akhlak mulia. Akhlak yang mulia merupakan cermin dari keimanan yang bersih.
Adapun metode pembinaan akhlak adalah :
a.      Metode Keteladanan
Yang dimaksud dengan metode keteladanan yaitu suatu metode pendidikan dengan cara memberikan contoh yang baik kepada peserta didik, baik di dalam ucapan maupun perbuatan. Murid-murid cenderung meneladani gurunya dan menjadikannya sebagai tokoh identifikasi dalam segala hal dalam rangka pertumbuhannya menuju kedewasaan. Karena pada jenjang menengah atas, peserta didik sulai mencari sosok yang bisa dijadikan panutan untuk bahan acuannya di masa datang. Sehingga pengaruh teladan dari pendidik sangat berperan penting dalam implementasi akhlak peserta didik.
b.      Metode Pembiasaan
Pembiasaan dapat dilakukan untuk membiasakan pada tingkah laku, keterampilan, kecakapan dan pola pikir. Pembiasaan ini bertujuan untuk mempermudah melakukannya. Karena seseorang yang telah mempunyai kebiasaan tertentu akan dapat melakukannya dengan mudah dan senang hati. Bahkan sesuatu yang telah dibiasakan dan akhirnya menjadi kebiasaan dalam usia muda itu sulit untuk dirubah dan tetap berlangsung sampai hari tua. Maka diperlukan terapi dan pengendalian diri yang sangat serius untuk dapat merubahnya.
c.       Metode Memberi Nasihat
Dalam metode memberi nasihat ini pendidik mempunyai kesempatan yang luas untuk mengarahkan peserta didik kepada berbagai kebaikan dan kemaslahatan umat. Di antaranya dengan menggunakan kisah-kisah Qur’ani, baik kisah nabawi maupun umat terdahulu yang banyak mengandung pelajaran yang dapat dipetik. Namun dalam penyampaian nasehat ini pendidik harus lebih kreatif, karena daya cerna peserta didik yang sudah tinggi dan juga bahasa yang digunakan juga harus sesuai dengan keadaan jiwa dan emosional peserta didik sehingga cerita yang bertanamkan nilai-nilai akhlak dan moral tersebut dapat masuk secara tidak sadar ke dalam diri peserta didik.
d.      Metode Motivasi dan Intimidasi
Penggunaan metode motivasi sejalan dengan apa yang ada dalam psikologi belajar disebut sebagai law of happines atau prinsip yang mengutamakan suasana menyenangkan dalam belajar. Sedang metode intimidasi dan hukuman baru digunakan apabila metode-metode lain seperti nasihat, petunjuk dan bimbingan tidak berhasil untuk mewujudkan tujuan. Metode ini tidak jauh berbeda dengan metode memberi nasehat. Metode ini juga akan sangat efektif apabila dalam penyampaiannya menggunakan bahasa yang menarik dan meyakinkan pihak yang mendengar. Oleh hendaknya pendidik bisa meyakinkan muridnya ketika menggunakan metode ini. Namun sebaliknya apabila bahasa yang digunakan kurang meyakinkan maka akan membuat murid tersebut malas memperhatikannya.
e.       Metode Persuasi
Metode persuasi adalah meyakinkan peserta didik tentang sesuatu ajaran dengan kekuatan akal. Penggunaan metode persuasi didasarkan atas pandangan bahwa manusia adalah makhluk yang berakal. Artinya Islam memerintahkan kepada manusia untuk menggunakan akalnya dalam membedakan antara yang benar dan salah serta atau yang baik dan buruk. Penggunaan metode persuasi ini dalam pendidikan Islam menandakan bahwa pentingnya memperkenalkan dasar-dasar rasional dan logis kepada peserta didik agar mereka terhindar dari meniru yang tidak didasarkan pertimbangan rasional dan pengetahuan.
2.5  Pendidikan Al-Karimah dalam Pembentukan Karakter Siswa
Pertanyaan yang tepat untuk pembahasan ini adalah “ Mengapa Pendidikan Karakter Al-Karimah Penting?
Indonesia sejatinya adalah bangsa dan negara besar, negara kepulauan terbesar di dunia, jumlah umat muslim terbesar di dunia, bangsa multi etnik dan bahasa namun bersatu, memiliki warisan sejarah yang menakjubkan dan kreatifitas anak negeri seperti batik, aneka makanan dan kerajinan yang eksotik, kekayaan serta keindahan alam yang luar biasa. Akan tetapi modal yang besar itu seakan tidak banyak berarti apabila mentalitas bangsa ini belum terbangun atau belum berubah ke arah yang lebih baik. [17]Mentalitas bangsa Indonesia yang kurang kondusif atau menjadi penghambat kejayaan bangsa Indonesia menjadi bangsa maju antara lain: malas, tidak disiplin,  suka melanggar aturan, ngaji pumpung, suka menerabas,  dan nepotisme. Selama mental sebuah bangsa tersebut tidak berubah, maka bangsa tersebut juga tidak akan mengalami perubahan dan akan tertinggal dengan bangsa-bangsa lain, meskipun bangsa tersebut sesungguhnya memiliki potensi dan modal yang besar. Allah dalam hal ini secara tegas mengatakan: “Sesungguhnya Allah tidak mengubah keadaan sesuatu kaum sehingga mereka mengubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri.”[18] Media yang paling ampuh untuk merubah mentalitas bangsa adalah lewat pendidikan dan keyakinan agama. Pendidikan yang mampu merubah mentalitas adalah pendidikan yang dilaksanakan dengan sungguh-sungguh dan sepenuh hati, bukan hanya sekedar formalitas atau kepura-puraan. Keyakinan agama juga besar pengaruhnya bagi mentalitas bangsa. Karena itu melalui pendidikan agama yang mampu menanamkan keimanan yang benar, ibadah yang benar dan akhlakul karimah, niscaya akan menjadikan anak didik sebagai manusia terbaik, yaitu yang bermanfaat bagi orang lain melalui amal shalehnya. Permasalahan lain yang menimpa Bangsa Indonesia adalah masih adanya konflik sosial di berbagai tempat, sering mengedepankan cara kekerasan dalam menyelesaikan berbagai permasalahan, praktek korupsi yang semakin canggih dan massif, sering terjadi perkelahian antar pelajar, pelanggaran etika dan susila yang semakin vulgar, munculnya aliran yang dianggap sesat dan cara-cara penyelesaiannya yang cenderung menggunakan kekerasan, tindakan kejahatan yang mengancam ketenteraman dan keamanan, praktek demokrasi liberal yang ekstreem dalam berbagai aspek kehidupan sehingga bertabrakan dengan budaya dan nilai-nilai kepatutan sebagai bangsa Timur dan bangsa yang religius. Sebagai bangsa Muslim terbesar di dunia, Indonesia juga masih menghadapi persoalan yang serius dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, antara lain masih adanya sebagian umat Islam yang belum at home sebagai Bangsa Indonesia. Mereka belum sepenuhnya menerima keberadaan Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdasar Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 sebagai bentuk negara yang final. Masih adanya sebagian umat yang belum memiliki kemampuan dan keterampilan untuk hidup bersama dalam keberbedaan. Impak dari sikap itu antara lain berupa masih kuatnya eksklusifitas, maraknya gerakan-gerakan umat yang kontra produktif, seperti terorisme, garakan-gerakan bawah tanah yang bertujuan mengganti bentuk negara, berbagai bentuk pembangkangan dan bahkan perlawanan terhadap negara dan pemerintahan yang sah. Akibat dari sikap sebagian umat Islam ini sangat luas, berangkai dan kontra produktif bagi bangsa dan negara, dan khususnya bagi umat Islam.[19] Permasalahan yang serius juga terjadi di dunia pendidikan. Pelanggaran etika sosial dan susila serta  kekerasan dalam berbagai bentuknya sering terjadi seperti: perkelaian antar pelajar, seks bebas, tindak pidana,  sikap tidak etis terhadap guru, berbagai bentuk pelanggaran tata tertib sekolah, dan minimnya prestasi dan kejayaan yang dicapai para pelajar kita.
Permasalahan bangsa tersebut di atas semakin diperparah dengan tayangan telivisi yang sangat vulgar, life, tidak mengenal waktu tayang, dan diulang-ulang oleh hampir semua stasiun TV dan juga surat kabar. Peristiwa pembunuhan, pemerkosaan, perkelaian, perampokan, pembakaran, demo yang anarkis, tidakan aparat yang represif, perceraian, terorisme dan berbagai bentuk tindakan kejahatan justru menjadi menu utama dan disiarkan dalam berbagai bentuk tayangan (berita, peristiwa, sinetron, dialog dan lain-lain). Semboyan wartawan adalah “bad news is good news”. Berita baik apabila ada unsur ‘blood” dan “crowd”. Tindakan memperolok, memfitnah, menghina, mengadu domba, pembunuhan karakter justru difasilitasi oleh media.
Fenomena di atas, apabila kita renungkan akan menimbulkan keprihatinan yang mendalam. Prihatin terhadap kualitas generasi muda di masa depan, prihatin terhadap citra dan daya saing bangsa kita yang semakin rendah dan direndahkan oleh bangsa-bangsa lain. Kondisi tersebut tentu saja sangat memprihatinkan. Kondisi ini menuntut semua pihak untuk mengambil peran masing-masing guna menyelamatkan generasi muda dan bangsa. Kaum agamawan sebagai penjaga etika dan moral masyarakat termasuk di dalamnya guru agama harus diberdayakan agar dapat mengambil peran secara signifikan. Demikian juga pendidikan akhlak yang memiliki peran strategis harus semakin ditingkatkan mutu dan relevansinya bagi upaya pembangunan moral bangsa. Pendidikan akhlak di sekolah perlu direkonstruksi agar dapat memerankan tugas dan fungsinya secara efektif yaitu membangun akhlak (etika dan moral) generasi penerus bangsa.
Dalam hal ini perhatian Guru dalam mendidik dan membina kehidupan beragama di sekolah memberikan pengaruh positif dalam pembentukan akhlak remaja, Guru Islam memiliki peranan penting dalam pembentukan akhlak remaja, karena Guru adalah sebagai sosok insan yang berwibawa dan dihormati oleh anak.  Selain bimbingan akhlak di sekolah juga diperlukan proses pembelajaran akhlak di dalam rumah tangga atau di lingkungan masyarakat melalui didikan nilai-nilai moral secara non formal agar anak-anak bergaul dengan orang-orang di masyarakat yang mengandung sifat positif. Sebab bila tidak diarahkan akan mengakibatkan pengaruh buruk bagi anak sehingga masa depan anak tersebut sebagai generasi penerus bangsa akan buruk pula.


















0 komentar:

Posting Komentar