BAB
II
PEMBAHASAN
PEMBAHASAN
A. Pentingnya Reformasi dan
Transformasi Sekolah/Madrasah
Seiring digulirkannya otonomi pendidikan,
reformasi dan transformasi sekolah idealnya sudah bukan lagi sekadar wacana
yang mengapung-apung dalam bentangan slogan dan retorika, melainkan sudah
menjadi sebuah keniscayaan sejarah, menjadi realitas praksis dalam dunia
persekolahan kita.
Mengapa reformasi
dan transformasi sekolah demikian penting dipersoalkan? Setidaknya
ada tiga argumen yang layak dikemukakan.
Pertama, sekolah
merupakan “ikon” masyarakat mini yang diharapkan mampu memberikan bekal hidup
(life skills) yang sesungguhnya kepada peserta didik. Ini artinya, sekolah
mesti menjadi institusi yang “merdeka” dalam menentukan masa depan bagi si anak
yang hanya bisa terwujud jika angin reformasi dan transformasi berembus segar ke sekolah-sekolah.
Kedua, sekolah
merupakan lembaga publik yang memberikan layanan kemanusiaan kepada peserta
didik. Sebagai lembaga publik, sekolah dituntut untuk memiliki tingkat
akuntabilitas, akseptabilitas, dan kredibilitas yang baik di mata publik
sebagai “konsumen”-nya. Hanya melalui iklim reformasi yang sehat sekolah dapat
menjalankan tugas dan fungsinya secara terhormat dan bermartabat kepada publik.
Ketiga, sekolah merupakan salah satu
agen transformasi menuju masyarakat masa depan yang sesuai tuntutan perubahan
dan dinamika global. Dalam menghadapi tuntutan semacam itu, sekolah harus
memosisikan diri sebagai institusi yang terbuka dan demokratis, sehingga dapat
membangun dan membumikan nilai-nilai kebenaran, kejujuran, dan keadilan kepada
peserta didik.[4]
B.
Tuntutan
Reformasi dan Transformasi Sekolah/Madrasah
Peningkatan mutu pendidikan mutlak harus diikuti
oleh perubahan yang dilakukan oleh sekolah. Pentingnya reformasi dan
transformasi sekolah dilakukan dengan mempertimbangkan perkembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi berpengaruh besar terhadap sistem pendidikan di
sekolah; perkembangan penduduk yang cepat membutuhkan pelayanan pendidikan yang
besar; sumberdaya manusia yang berkualitas merupakan tantangan bagi sekolah
untuk menghasilkan lulusan yang berkualitas; dan perkembangan teknologi informasi
yang cepat berdampak pada dunia pendidikan.[5]
Pembaruan atau reformasi dan transformasi yang
dilakukan sekolah (school reform) tentu saja membutuhkan proses dan itu
tidak dapat berjalan secara otomatis. Untuk itu diperlukan sikap positif
terhadap pembaharuan bagi semua komponen dalam lembaga pendidikan dan
penggunaan sumber daya yang diperlukan untuk melakukan reformasi dan
transformasi.
Reformasi dan transformasi sekolah tidak hanya
mencakup manajemen sekolah, namun diharapkan mampu menciptakan iklim kondusif
untuk perkembangan pribadi peserta didik, tidak hanya menjadi lembaga mekanis
dan birokratis, tetapi menjadi lembaga pendidikan yang inovatif.
Pembaruan sekolah pada manajemen sekolah mengandung
makna menumbuhkan komitmen untuk
mandiri; mengutamakan kepuasan pelanggan (customer satisfaction); menumbuhkan
sikap responsif dan antisipatif terhadap kebutuhan; menciptakan lingkungan
sekolah yang aman dan tertib (safe and orderly); menumbuhan budaya mutu
di lingkungn sekolah; menumbuhkan harapan prestasi tinggi; menumbuhkan kemauan
untuk berubah; mengembangkan komunikasi yang baik; mewujudkan teamwork yang
kompak, cerdas dan dinamis; melaksanakan keterbukaan manajemen (transparancy);
menetapkan secara jelas dan mewujudkan visi dan misi sekolah; melaksanakan
pengelolaan tenaga kependidikan secara efektif; meningkatkan partisipasi warga
sekolah dan masyarakat; dan menetapkan kerangka akuntabilitas yang kuat.[6]
Departemen Pendidikan Nasional (2002) mengelompokkan
masyarakat sekolah sebagai mini society dalam level kelas (regulator), level
mediator (profesi) dan level sekolah (manajemen). Level regulator mempresentasikan
karakter pembelajaran kelas yang mencakup suasana psikologis dan pembelajaran
yang kondusif. Level profesi mempresentasikan karakter profesional pengelolaan sekolah
dari kepala sekolah, pendidik, dan tenaga administarif, yang mencakup karakter kepemimpinan,
kreativitas, dan kolaborasi. Level manajemen mempresentasikan karakter kolektif
warga sekolah secara keseluruhan atau academic atmospher sekolah, yang
mencakup budaya mutu, demokratris, dan partisipasi.
Namun demikian, hambatan-hambatan akan ditemui dalam
proses pembaharuan yaitu hambatan karena koflik nilai, karena perubahan pendidikan
selalu menyangkut sasaran dan strategi pelaksanaan; adanya konflik kekuasaan,
karena pembaruan pada hakekatnya selalu mengandung redistribusi kekuatan; dan
konflik psikologis, karena ketakutan terhadap sesuatu yang belum dikenal.
Konsekuensi dari perubahan dimensi manajemen mutu
adalah sekolah harus melakukan reformasi yang berupa adaptasi dan pembaharuan,
terutama dalam pemimpin pendidikan yakni kepala sekolah, dengan melakukan
kepemimpinan tranformasional (transformational leadership) yang mencakup
kompetensi profesional, kompetensi pribadi, dan kompetensi sosial.[7]
Kompetensi profesional mencakup penguasaan teori dan
praktek kepemimpinan dan manajemen, memiliki kecerdasan, dan konsisten. Kompetensi
sosial antara lain tanggap rasa dan toleran. Kompetensi pribadi antara lain
memiliki kepercayaan tinggi dan memiliki emosi yang stabil.
Upaya reformasi dan
transformasi sekolah dilakukan melalui evaluasi diri (self awareness) dengan
menggunakn analisis SWOT utuk mengidentifikasi permasalahan strategis sehingga
dapat dibuat rencana program untuk memecahkan masalah tersebut, yaitu dengan
mengevaluasi kekuatan (strengh), kelemahan (weakness), kesempatan
(opportunity), dan hambatan (treath).
C.
Manajemen
Peningkatan Mutu Sekolah/Madrasah
Manajemen peningkatan mutu sebagai pola baru
mengalami perubahan yang mendasar dengan pendekatan desentralistik
sebagai implikasi otonomi pendidian yang memberikan otonomi yang luas pada
sekolah dan partisipasi masyarakat yang intensif; menggunakan pendekatan
profesional bukan pendekatan birokratik; pengambilan keputusan bersifat
partisipatif bukan terpusat; dan adanya pemberdayan seluruh potensi atau
sumberdaya yang ada untuk peningkatan mutu pendidikan.[8]
Pengelolaan pendidikan dengan manajemen peningkatan
mutu lebih menekankan pada kemandirian, kreativitas sekolah dan perbaikan
proses yang lebih dijiwai oleh budaya mutu, sehingga tumbuh kemandirian sekolah
yang tentunya diharapkan sekolah mengetahui kekuatan, kelemahan, peluang maupun
ancaman yang datang, dan mengoptimalkan sumber daya yang tersedia untuk
memajukan sekolah; sekolah mengetahui kebutuhan dirinya terutama input
pendidikan yag akan dikembangkan; sekolah bertanggung jawab atas mutu pendidikan
kepada pemerintah, orangtua peserta didik, masyarakat, dan customer; dan
sekolah melakukan persaingan sehat dengan sekolah lain ntuk meningkatkan mutu
pendidikan.[9]
Sistem yang tersirat dalam manajemen peningkatan
mutu tersebut mencakup komponen yang saling terkait satu sama lain yaitu
konteks, input, proses, output dan outcomes. Konteks menunjuk pada permintaan
pendidikan, aspirasi dan dukungan masyarakat, kebijakan pemerintah, dan kondisi
geografis. Input menunjuk pada visi dan misi sekolah, sumberdaya sekolah,
kurikulum, dan peserta didik. Proses mencakup proses pengambilan keputusan,
proses pengelolaan kelembagaan, proses pembelajaran, dan proses evaluasi.
Output menunjuk pada academic achievement seperti rapor dan lomba karya
tulis, dan non academic achievement yang meliputi prestasi dan
ketrampilan. Outcomes mencakup kemanfaatan sekolah dalam pendidikan lanjut,
pengembangan karir dan
kesempatan untuk berkembang.[10]
Pendidikan yang hanya berbasis pada input dan
proses, akan berjalan tidak dinamis, kurang efisien dan mengarah pada stagnasi
pedagogis, sehingga sistem pendidikan cenderung tidak bisa beradaptasi dengan
perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi dan kebutuhan masyarakat. Dalam
pendidikan terdapat standar akademis (academic content standards) dan
standar kompetensi (performance standards). Standar akademis
merefleksikan pengtahuan dan ketrampilan esensial setiap disiplin ilmu yag
harus dipelajari oleh
peserta
didik. Sedangkan standar kompetensi ditunjukkan dalam bentuk proses atau hasil
kegiatan yang didemonstrasikan peserta didik sebagai penerapan dari pengetahuan
dan ketrampilan yang telah dipelajari. Dengan demikian standar akademis bisa
sama untk seluruh peserta didik, tetapi standar kompetensi bisa berbeda.[11]
Pendidikan berbasis masyarakat luas (broad based
education) brkaitan erat dalam mewujudkan program peningkatan mutu
pendidikan. Oleh karenanya, kurikulum menggunakan konsep broad based
education yang berorientasi life skills dengan mendayagunakan semua
potensi yang ada. Implementasi program broad based education dengan life
skills (Enco Mulyasa, 2002,30-31) terfokus pada reorientasi pembelajaran
menuju pembelajaran dan evaluasi yang efektif; pengembangan budaya sekolah;
peningkatan efektivitas manajemen sekolah; penciptaan hubungan yang harmonis
dan sinergis antara sekolah dengan masyarakat; dan pengisian muatan
pembelajaran yag sesuai dengan kebutuhan masyarakat setempat.
Kecakapan hidup (life skills) sendiri sering
diartikan sebagai suatu keberanian menghadapi resiko hidup, hidup secara wajar
dan tanpa merasa tertekan, dan secara kreatif mampu menemukan solusi untuk
mengatasi permasalahan yang muncul, yang mencakup kecakapan mengenal diri (self
awareness) atau kemampuan personal (persona skills); kecakapan
berpikir rasional (thinking skills); kecakapan sosial (social skills);
kecakapan akademik (academic skills); dan kecakapan vokasional (vocational
skills).
Dalam kaitan tersebut, kompetensi merupakan perpaduan
dari pengetahuan, ketrampilan, nilai dan sikap yang direfleksikan dalam
kebiasan berpikir dan bertindak, dengan karakteristik kurikulum berbasis
kompetensi yaitu menekankan ketercapaian kompetensi siswa baik idividual maupun
klasikal; berorientasi hasil belajar (learning outcomes) dan
keberagaman; penyampaian dalam pembelajaran menggunakan pendekatan dan metode
bervariasi; sumber belajar bukan hanya guru tetapi juga sumber belajar lainnya
yang memenuhi unsur edukatif; dan penilaian menekankan proses dan hasil belajar
dalam upaya penguasaan atau pencapaian kompetensi.[12]
Penjelasan konsep broad
based education dengan life skills di atas memberikan gambaran bahwa
pendekatan pengembangan kurikulum memfokuskan pada penguasaan kompetensi
tertentu berdasarkan tahap-tahap perkembangan peserta didik, sehingga membantu
mengembangkan potensi peserta didik secara optimal.
D.
Strategi
Sekolah/Madrasah dalam Menghadapi Perubahan
Perubahan lingkungan sekolah menuntut sumber daya
manusia yang selalu belajar. Mau mundurnya suatu lembaga pendidikan yakni
sekolah tergantung pada sumber daya sekolah itu sendiri seiring dengan otonomi
pendidikan yang diberikan secara luas di sekolah. Pendekatan knowledge based
(Sullivan,1997,4-21) menekankan bahwa intellectual capital merupakan
ilmu dan pengetahuan yang dapat dikonversikan dalam keuntungan atau profit,
yang mencakup inventions, technologies, ideas, general knowledge, computer
programs, designs, data, skills, processes,creativity, publications, drawings.
Pengertian tersebut mengisyaratkan bahwa intellectual capital merupakan
sumberdaya utama dalam organisasi, utamanya organisasi yang terus belajar.
Organisasi pembelajar menurut Marquardt (1996)
adalah sebagai organisasi yang melakukan pembelajaran secara sungguh-sungguh dan
secara kolektif, dan selanjutnya merubah dirinya untuk mengumpulkan, mengelola
dan menggunakan pengetahuannya dengan baik untuk kesuksesan organisasi, yang
mencakup learning, organizaton, knowledge, technology, dan people.
Sebagaimana diungkapkan Peter Drucker (1997) bahwa the
greatest danger in times of turbulance is not itself, but it is danger if you still
act with your yesterday logic. Maksudnya adalah turbulensi memang berbahaya,
akan tetapi yang lebih berbahaya adalah apabila masih memakai logika berpikir
masa lalu, sehingga yang harus diubah adalah pola pikir atau paradigma
berpikir. Organisasi pembelajar (learning organization) pada hakekatnya adalah
organisasi yang memiliki iklim yang memungkinkan tiap anggota didorong untuk
terus belajar dan mengembangkan potensi mereka sepenuhnya, memperluas dan
memperkaya budaya bekerja di lingkungan kerja serta menjadikan strategi
pengembangan sumber daya manusia sebagai pusat dari kebijaksanaan kerja demi
terjadinya transformasi berkelanjutan demi kesempurnaan.[13]
Dalam learning organization (Senge, 1996) mengemukan
bahwa terdapat cara berpikir yang sistematik (system thinking);
kematangan pribadi (personal mastery); membangun model mental (mental
model); visi bersama (shared vision); dan pembelajaran tim (tim
learning).
Organisasi pembelajar memerlukan anggota yang
memilki kompetensi dan kesadaran akan perluya perubahan terus menerus pada pola
pikir ke arah perbaikan kerja dan interaksi dalam organisasi. Perspektif tiap
individu terhadap perlunya pendekatan yang didasarkan pada kompetensi perlu
dipersamakan agar organiasi dapat mengarahkan diri sesuai dengan upaya terus
meningkatkan kinerja organisasi.
Sebagai respon terhadap pendorong perubahan, maka
organisasi harus belajar dengan menata ulang mengenai cara berpikir,
pengelolaan, dan operasinya. Kesadaran pembelajaran individu belumlah cukup
bagi sebuah organisasi agar dapat bersaing, masih diperlukan adanya peningkatan
kemampuan pembelajaran seluruh organisasi agar tetap dapat sukses di dalam
situasi lingkungan yang sangat cepat berubah.
Menelaah kembali
mengenai perubahan sekolah sebagaimana telah dibahas di muka, maka reformasi dan
transformasi sekolah dapat ditelaah dengan menggunaan learning organization dengan
menggabungkan konsep organization change methodology dalam change to
win (Tan,1995) dan learning organization (Senge, 1996).
1.
Diagnostic
assessment
Untuk me dan transformasi sekolah, strategi yang
terlebih dahulu diterapkan adalah diagnostic assessment dengan rethinking
about beliefs, yang dimaksudkan untuk mengetahui organization context yang
mencakup mengenai beliefs, work process dan drivers. Strategi
mendasar sekolah adalah memperbaiki kondisi internal sekolah bersangkutan
sebelum benar-benar melaksanakan manajemen peningkatan mutu berbasis sekolah.
Tantangan utama dari sekolah adalah membangun citra sekolah agar lebih
profesional, melembagakan good corporate serta menjunjung tinggi academic
athics. Redesign assessment adalah melihat perilaku yang mencakup mengenai:
a. Beliefs dari sekolah yang
selama ini berjalan ditandai dengan kinerja yang kurang profesional, tidak
inovatif, yang mencakup: beliefs sekolah terhadap stakeholders, beliefs
stakeholders terhadap sekolah, beliefs dari produk dan jasa yang
dihasilkan sekolah, dan beliefs dari customer terhadap sekolah.
b. Work process yang dimaksudkan adalah
memperbaiki proses kerja dalam sekolah yang berjalan kurang professional
seperti kegagapan birokrasi sekolah dalam menghadapi perubahan otonomi pendidikan.
c. Drivers merupakan pemicu untuk berubah
yaitu siapa dan apa sebabnya, dengan melihat apakah perubahan reformasi dan
transformasi sekolah dilakukan karena adanya pengaruh dari luar atau karena
sikap proaktif dari dalam sekolah dalam melihat peluang.
2.
Organization
redesign
Setelah melihat
perilaku yang selama ini terjadi di sekolah serta melihat tantangan yang
dihadap sekolah, maka strategi selanjutnya adalah mengkaji ulang sekolah
bersangkutan. Menghadapi perubahan otonomi pendidikan, maka sekolah harus
mendesain kembali strateginya selama ini. Paradigma lama yang digunakan harus
diubah dengan paradigma learning organization.
3.
Organization
transformation
Organization
transformation merupakan proses mentransformasi organisasi
menuju perubahan yang dilakukan, yang dampaknya merupakan peningkatan
performansi. Fokus pada transformasi sekolah adalah individu pembelajar yang
lebih dituntut pada kemampuan melakukan sistem dan menemukan metode dalam
pelaksanaan tugas agar organisasi berjalan efisien.
4.
Continous
improvement
Bahwa transformasi
organisasi yang telah dijalankan harus dilaksanakan secara terus menerus dan
berkesinambungan, mencakup academic culture, competency strategy dan
inovasi yang dilakukan secara berkelanjutan.
Tahapan strategi
reformasi dan transformasi sekolah dipengaruhi oleh dimensi organisasi yaitu leadership,
structure, process dan workforce. Dimensi organisasi ini dalam
pembelajarannya dipengaruhi oleh system thinking, personal mastery, mental model,
shared vision, team learning dan dialoque.
1. Leadership, merupakan dimensi
kepemimpinan yang mempengaruhi kinerja sekolah. Kepemimpinan sengat
ditentukan oleh individu bersangkutan (kepala sekolah) dan lingkungan
tempat kerja, sehingga gaya kepemimpinan juga akan berbeda dalam penerapannya.
Individu yang pembelajar akan menjadikan kepemimpinan menjadi learning
leadership yang akan menjadikan organisasi sekolah menjadi lebih
profesional.
2. Structure,
merupakan gambaran dari sekolah yang bersangkutan yang berkaitan dengan
struktur organisasi. Struktur sekolah yang diharapkan adalah yang sederhana,
efektif, efisien serta mampu merespon lingkungan, termasuk kerja sama yang
solid antara sekolah dengan komite sekolah.
3. Process. Proses dimaksudkan
adalah proses yang dilakukan oleh organisasi sekolah dalam upaya manajemen peningkatan
mutu berbasis sekolah. Proses tersebut harus transparan dan jelas maksudnya,
sehingga citra sekolah akan terbangun dengan proses organisasi yang pofesional
dan senantiasa menjadi oganisasi pembelajar.
4. Workforce. Sumberdaya manusia yang
handal merupakan modal utama yang harus dimiliki sekolah dalam reformasi dan
transformasi sekolah. Sumberdaya manusia berkaitan dengan individu pembelajar
yang senantiasa meningkatkan pengetahuan dan kemampuannya. Dengan adanya
individu yang pembelajar akan menjadikan organiasasi menjadi organisasi pembelajar
yang bersikap proaktif dalam mengadapi perubahan lingkungan termasuk manajemen berbasis
sekolah.
E.
Kepala
Sekolah Sebagai Pemimpin Pendidikan
Penerapan pendidikan life
skills (kecakapan hidup) dalam sistem pendidikan nasional yang saat ini
sedang hangat-hangatnya sebetulnya tidak membutuhkan kurikulum baru. Pendidikan
kecakapan hidup membutuhkan perubahan cara pandang guru, terutama kepala
sekolah. Dengan begitu, peserta didik akan memiliki cara pandang yang dapat
dipergunakan untuk hidupnya karena proses pendidikan seharusnya ditujukan untuk
hidup dan bukan sekadar untuk mencari kerja. Tujuan peserta didik dalam
bersekolah apabila hanya untuk mencari kerja sudah tidak jamannya lagi.
Pendidikan selayaknya tidak untuk sekedar membekali siswa dengan ilmu
pengetahuan dan ketrampilan, tetapi pendidikan yang berhasil adalah pendidikan
yang bisa mengantar peserta didik memahami dirinya.
Pemahaman terhadap diri
sendiri terhadap kelebihan yang dimiliki maupun kelemahan yang dimiliki, dan
dengan pemahaman semacam itu maka peserta didik bisa mencari cara untuk
menentukan langkah bagi kehidupannya. Sekolah harus mampu membawa misi
tersebut, dan misi itu memerlukan dukungan semua pihak dengan pemimpin yang
benar-benar Capable sehingga setiap aspek yang diputuskannya dapat
dipertanggungjawabkan. keberhasilan pendidikan kecakapan hidup dan pendidikan
pada umumnya memerlukan perbaikan kualitas kepala sekolah. Kepala sekolah yang
berkualitas dan memiliki kemampuan sebagai seorang pemimpin, pada gilirannya
akan sangat membantu proses pendidikan di sekolah. Sistem pendidikan kita
selama ini telah salah mengangkat kepala sekolah. Para kepala sekolah biasanya
dipilih hanya sekadar sebagai guru senior, tetapi tidak memiliki kemampuan
manajemen yang baik. Padahal, dengan kepala sekolah yang berkualitas, mereka
akan tahu apa yang dibutuhkan untuk mengatasi kekurangan dalam proses
pendidikan di sekolahnya.
Keberhasilan proses
pendidikan sangat tergantung pada peran guru dan staf sekolah yang dapat
berbagi tanggung-jawab. Keduanya harus mempunyai komitmen terhadap visi yang
telah ditetapkan. Peran seorang kepala sekolah sebagai pemimpin pendidikan
adalah bagaimana ia dapat memberdayakan secara maksimal kedua kelompok tadi.
Sering yang terjadi dilapangan tanggung jawab kebersamaan antara kedua kelompok
tersebut belum harmonis untuk mendukung tercapainya pendidikan yang berhasil.
MAKALAH ILMU PENDIDIKAN KELOMPOK 4