Kamis, 13 Juni 2013

MAKALAH ILMU PENDIDIKAN KELOMPOK 4





BAB II
PEMBAHASAN

A.    Pentingnya Reformasi dan Transformasi Sekolah/Madrasah
Seiring digulirkannya otonomi pendidikan, reformasi dan transformasi sekolah idealnya sudah bukan lagi sekadar wacana yang mengapung-apung dalam bentangan slogan dan retorika, melainkan sudah menjadi sebuah keniscayaan sejarah, menjadi realitas praksis dalam dunia persekolahan kita.
Mengapa reformasi dan transformasi sekolah demikian penting dipersoalkan? Setidaknya ada tiga argumen yang layak dikemukakan.
Pertama, sekolah merupakan “ikon” masyarakat mini yang diharapkan mampu memberikan bekal hidup (life skills) yang sesungguhnya kepada peserta didik. Ini artinya, sekolah mesti menjadi institusi yang “merdeka” dalam menentukan masa depan bagi si anak yang hanya bisa terwujud jika angin reformasi dan transformasi berembus segar ke sekolah-sekolah.
Kedua, sekolah merupakan lembaga publik yang memberikan layanan kemanusiaan kepada peserta didik. Sebagai lembaga publik, sekolah dituntut untuk memiliki tingkat akuntabilitas, akseptabilitas, dan kredibilitas yang baik di mata publik sebagai “konsumen”-nya. Hanya melalui iklim reformasi yang sehat sekolah dapat menjalankan tugas dan fungsinya secara terhormat dan bermartabat kepada publik.

Ketiga, sekolah merupakan salah satu agen transformasi menuju masyarakat masa depan yang sesuai tuntutan perubahan dan dinamika global. Dalam menghadapi tuntutan semacam itu, sekolah harus memosisikan diri sebagai institusi yang terbuka dan demokratis, sehingga dapat membangun dan membumikan nilai-nilai kebenaran, kejujuran, dan keadilan kepada peserta didik.[4]

B.     Tuntutan Reformasi dan Transformasi  Sekolah/Madrasah

Peningkatan mutu pendidikan mutlak harus diikuti oleh perubahan yang dilakukan oleh sekolah. Pentingnya reformasi dan transformasi sekolah dilakukan dengan mempertimbangkan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi berpengaruh besar terhadap sistem pendidikan di sekolah; perkembangan penduduk yang cepat membutuhkan pelayanan pendidikan yang besar; sumberdaya manusia yang berkualitas merupakan tantangan bagi sekolah untuk menghasilkan lulusan yang berkualitas; dan perkembangan teknologi informasi yang cepat berdampak pada dunia pendidikan.[5]
Pembaruan atau reformasi dan transformasi yang dilakukan sekolah (school reform) tentu saja membutuhkan proses dan itu tidak dapat berjalan secara otomatis. Untuk itu diperlukan sikap positif terhadap pembaharuan bagi semua komponen dalam lembaga pendidikan dan penggunaan sumber daya yang diperlukan untuk melakukan reformasi dan transformasi.
Reformasi dan transformasi sekolah tidak hanya mencakup manajemen sekolah, namun diharapkan mampu menciptakan iklim kondusif untuk perkembangan pribadi peserta didik, tidak hanya menjadi lembaga mekanis dan birokratis, tetapi menjadi lembaga pendidikan yang inovatif.
Pembaruan sekolah pada manajemen sekolah mengandung makna  menumbuhkan komitmen untuk mandiri; mengutamakan kepuasan pelanggan (customer satisfaction); menumbuhkan sikap responsif dan antisipatif terhadap kebutuhan; menciptakan lingkungan sekolah yang aman dan tertib (safe and orderly); menumbuhan budaya mutu di lingkungn sekolah; menumbuhkan harapan prestasi tinggi; menumbuhkan kemauan untuk berubah; mengembangkan komunikasi yang baik; mewujudkan teamwork yang kompak, cerdas dan dinamis; melaksanakan keterbukaan manajemen (transparancy); menetapkan secara jelas dan mewujudkan visi dan misi sekolah; melaksanakan pengelolaan tenaga kependidikan secara efektif; meningkatkan partisipasi warga sekolah dan masyarakat; dan menetapkan kerangka akuntabilitas yang kuat.[6]
Departemen Pendidikan Nasional (2002) mengelompokkan masyarakat sekolah sebagai mini society dalam level kelas (regulator), level mediator (profesi) dan level sekolah (manajemen). Level regulator mempresentasikan karakter pembelajaran kelas yang mencakup suasana psikologis dan pembelajaran yang kondusif. Level profesi mempresentasikan karakter profesional pengelolaan sekolah dari kepala sekolah, pendidik, dan tenaga administarif, yang mencakup karakter kepemimpinan, kreativitas, dan kolaborasi. Level manajemen mempresentasikan karakter kolektif warga sekolah secara keseluruhan atau academic atmospher sekolah, yang mencakup budaya mutu, demokratris, dan partisipasi.
Namun demikian, hambatan-hambatan akan ditemui dalam proses pembaharuan yaitu hambatan karena koflik nilai, karena perubahan pendidikan selalu menyangkut sasaran dan strategi pelaksanaan; adanya konflik kekuasaan, karena pembaruan pada hakekatnya selalu mengandung redistribusi kekuatan; dan konflik psikologis, karena ketakutan terhadap sesuatu yang belum dikenal.
Konsekuensi dari perubahan dimensi manajemen mutu adalah sekolah harus melakukan reformasi yang berupa adaptasi dan pembaharuan, terutama dalam pemimpin pendidikan yakni kepala sekolah, dengan melakukan kepemimpinan tranformasional (transformational leadership) yang mencakup kompetensi profesional, kompetensi pribadi, dan kompetensi sosial.[7]
Kompetensi profesional mencakup penguasaan teori dan praktek kepemimpinan dan manajemen, memiliki kecerdasan, dan konsisten. Kompetensi sosial antara lain tanggap rasa dan toleran. Kompetensi pribadi antara lain memiliki kepercayaan tinggi dan memiliki emosi yang stabil.
Upaya reformasi dan transformasi sekolah dilakukan melalui evaluasi diri (self awareness) dengan menggunakn analisis SWOT utuk mengidentifikasi permasalahan strategis sehingga dapat dibuat rencana program untuk memecahkan masalah tersebut, yaitu dengan mengevaluasi kekuatan (strengh), kelemahan (weakness), kesempatan (opportunity), dan hambatan (treath).

C.    Manajemen Peningkatan Mutu Sekolah/Madrasah
Manajemen peningkatan mutu sebagai pola baru mengalami perubahan yang mendasar dengan pendekatan desentralistik sebagai implikasi otonomi pendidian yang memberikan otonomi yang luas pada sekolah dan partisipasi masyarakat yang intensif; menggunakan pendekatan profesional bukan pendekatan birokratik; pengambilan keputusan bersifat partisipatif bukan terpusat; dan adanya pemberdayan seluruh potensi atau sumberdaya yang ada untuk peningkatan mutu pendidikan.[8]
Pengelolaan pendidikan dengan manajemen peningkatan mutu lebih menekankan pada kemandirian, kreativitas sekolah dan perbaikan proses yang lebih dijiwai oleh budaya mutu, sehingga tumbuh kemandirian sekolah yang tentunya diharapkan sekolah mengetahui kekuatan, kelemahan, peluang maupun ancaman yang datang, dan mengoptimalkan sumber daya yang tersedia untuk memajukan sekolah; sekolah mengetahui kebutuhan dirinya terutama input pendidikan yag akan dikembangkan; sekolah bertanggung jawab atas mutu pendidikan kepada pemerintah, orangtua peserta didik, masyarakat, dan customer; dan sekolah melakukan persaingan sehat dengan sekolah lain ntuk meningkatkan mutu pendidikan.[9]
Sistem yang tersirat dalam manajemen peningkatan mutu tersebut mencakup komponen yang saling terkait satu sama lain yaitu konteks, input, proses, output dan outcomes. Konteks menunjuk pada permintaan pendidikan, aspirasi dan dukungan masyarakat, kebijakan pemerintah, dan kondisi geografis. Input menunjuk pada visi dan misi sekolah, sumberdaya sekolah, kurikulum, dan peserta didik. Proses mencakup proses pengambilan keputusan, proses pengelolaan kelembagaan, proses pembelajaran, dan proses evaluasi. Output menunjuk pada academic achievement seperti rapor dan lomba karya tulis, dan non academic achievement yang meliputi prestasi dan ketrampilan. Outcomes mencakup kemanfaatan sekolah dalam pendidikan lanjut, pengembangan karir dan
kesempatan untuk berkembang.[10]
Pendidikan yang hanya berbasis pada input dan proses, akan berjalan tidak dinamis, kurang efisien dan mengarah pada stagnasi pedagogis, sehingga sistem pendidikan cenderung tidak bisa beradaptasi dengan perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi dan kebutuhan masyarakat. Dalam pendidikan terdapat standar akademis (academic content standards) dan standar kompetensi (performance standards). Standar akademis merefleksikan pengtahuan dan ketrampilan esensial setiap disiplin ilmu yag harus dipelajari oleh
peserta didik. Sedangkan standar kompetensi ditunjukkan dalam bentuk proses atau hasil kegiatan yang didemonstrasikan peserta didik sebagai penerapan dari pengetahuan dan ketrampilan yang telah dipelajari. Dengan demikian standar akademis bisa sama untk seluruh peserta didik, tetapi standar kompetensi bisa berbeda.[11]
Pendidikan berbasis masyarakat luas (broad based education) brkaitan erat dalam mewujudkan program peningkatan mutu pendidikan. Oleh karenanya, kurikulum menggunakan konsep broad based education yang berorientasi life skills dengan mendayagunakan semua potensi yang ada. Implementasi program broad based education dengan life skills (Enco Mulyasa, 2002,30-31) terfokus pada reorientasi pembelajaran menuju pembelajaran dan evaluasi yang efektif; pengembangan budaya sekolah; peningkatan efektivitas manajemen sekolah; penciptaan hubungan yang harmonis dan sinergis antara sekolah dengan masyarakat; dan pengisian muatan pembelajaran yag sesuai dengan kebutuhan masyarakat setempat.
Kecakapan hidup (life skills) sendiri sering diartikan sebagai suatu keberanian menghadapi resiko hidup, hidup secara wajar dan tanpa merasa tertekan, dan secara kreatif mampu menemukan solusi untuk mengatasi permasalahan yang muncul, yang mencakup kecakapan mengenal diri (self awareness) atau kemampuan personal (persona skills); kecakapan berpikir rasional (thinking skills); kecakapan sosial (social skills); kecakapan akademik (academic skills); dan kecakapan vokasional (vocational skills).
Dalam kaitan tersebut, kompetensi merupakan perpaduan dari pengetahuan, ketrampilan, nilai dan sikap yang direfleksikan dalam kebiasan berpikir dan bertindak, dengan karakteristik kurikulum berbasis kompetensi yaitu menekankan ketercapaian kompetensi siswa baik idividual maupun klasikal; berorientasi hasil belajar (learning outcomes) dan keberagaman; penyampaian dalam pembelajaran menggunakan pendekatan dan metode bervariasi; sumber belajar bukan hanya guru tetapi juga sumber belajar lainnya yang memenuhi unsur edukatif; dan penilaian menekankan proses dan hasil belajar dalam upaya penguasaan atau pencapaian kompetensi.[12]
Penjelasan konsep broad based education dengan life skills di atas memberikan gambaran bahwa pendekatan pengembangan kurikulum memfokuskan pada penguasaan kompetensi tertentu berdasarkan tahap-tahap perkembangan peserta didik, sehingga membantu mengembangkan potensi peserta didik secara optimal.

D.    Strategi Sekolah/Madrasah dalam Menghadapi Perubahan
Perubahan lingkungan sekolah menuntut sumber daya manusia yang selalu belajar. Mau mundurnya suatu lembaga pendidikan yakni sekolah tergantung pada sumber daya sekolah itu sendiri seiring dengan otonomi pendidikan yang diberikan secara luas di sekolah. Pendekatan knowledge based (Sullivan,1997,4-21) menekankan bahwa intellectual capital merupakan ilmu dan pengetahuan yang dapat dikonversikan dalam keuntungan atau profit, yang mencakup inventions, technologies, ideas, general knowledge, computer programs, designs, data, skills, processes,creativity, publications, drawings. Pengertian tersebut mengisyaratkan bahwa intellectual capital merupakan sumberdaya utama dalam organisasi, utamanya organisasi yang terus belajar.
Organisasi pembelajar menurut Marquardt (1996) adalah sebagai organisasi yang melakukan pembelajaran secara sungguh-sungguh dan secara kolektif, dan selanjutnya merubah dirinya untuk mengumpulkan, mengelola dan menggunakan pengetahuannya dengan baik untuk kesuksesan organisasi, yang mencakup learning, organizaton, knowledge, technology, dan people.
Sebagaimana diungkapkan Peter Drucker (1997) bahwa the greatest danger in times of turbulance is not itself, but it is danger if you still act with your yesterday logic. Maksudnya adalah turbulensi memang berbahaya, akan tetapi yang lebih berbahaya adalah apabila masih memakai logika berpikir masa lalu, sehingga yang harus diubah adalah pola pikir atau paradigma berpikir. Organisasi pembelajar (learning organization) pada hakekatnya adalah organisasi yang memiliki iklim yang memungkinkan tiap anggota didorong untuk terus belajar dan mengembangkan potensi mereka sepenuhnya, memperluas dan memperkaya budaya bekerja di lingkungan kerja serta menjadikan strategi pengembangan sumber daya manusia sebagai pusat dari kebijaksanaan kerja demi terjadinya transformasi berkelanjutan demi kesempurnaan.[13]
Dalam learning organization (Senge, 1996) mengemukan bahwa terdapat cara berpikir yang sistematik (system thinking); kematangan pribadi (personal mastery); membangun model mental (mental model); visi bersama (shared vision); dan pembelajaran tim (tim learning).
Organisasi pembelajar memerlukan anggota yang memilki kompetensi dan kesadaran akan perluya perubahan terus menerus pada pola pikir ke arah perbaikan kerja dan interaksi dalam organisasi. Perspektif tiap individu terhadap perlunya pendekatan yang didasarkan pada kompetensi perlu dipersamakan agar organiasi dapat mengarahkan diri sesuai dengan upaya terus meningkatkan kinerja organisasi.
Sebagai respon terhadap pendorong perubahan, maka organisasi harus belajar dengan menata ulang mengenai cara berpikir, pengelolaan, dan operasinya. Kesadaran pembelajaran individu belumlah cukup bagi sebuah organisasi agar dapat bersaing, masih diperlukan adanya peningkatan kemampuan pembelajaran seluruh organisasi agar tetap dapat sukses di dalam situasi lingkungan yang sangat cepat berubah.
Menelaah kembali mengenai perubahan sekolah sebagaimana telah dibahas di muka, maka reformasi dan transformasi sekolah dapat ditelaah dengan menggunaan learning organization dengan menggabungkan konsep organization change methodology dalam change to win (Tan,1995) dan learning organization (Senge, 1996).

1.      Diagnostic assessment
Untuk me dan transformasi sekolah, strategi yang terlebih dahulu diterapkan adalah diagnostic assessment dengan rethinking about beliefs, yang dimaksudkan untuk mengetahui organization context yang mencakup mengenai beliefs, work process dan drivers. Strategi mendasar sekolah adalah memperbaiki kondisi internal sekolah bersangkutan sebelum benar-benar melaksanakan manajemen peningkatan mutu berbasis sekolah. Tantangan utama dari sekolah adalah membangun citra sekolah agar lebih profesional, melembagakan good corporate serta menjunjung tinggi academic athics. Redesign assessment adalah melihat perilaku yang mencakup mengenai:
a.       Beliefs dari sekolah yang selama ini berjalan ditandai dengan kinerja yang kurang profesional, tidak inovatif, yang mencakup: beliefs sekolah terhadap stakeholders, beliefs stakeholders terhadap sekolah, beliefs dari produk dan jasa yang dihasilkan sekolah, dan beliefs dari customer terhadap sekolah.
b.      Work process yang dimaksudkan adalah memperbaiki proses kerja dalam sekolah yang berjalan kurang professional seperti kegagapan birokrasi sekolah dalam menghadapi perubahan otonomi pendidikan.
c.        Drivers merupakan pemicu untuk berubah yaitu siapa dan apa sebabnya, dengan melihat apakah perubahan reformasi dan transformasi sekolah dilakukan karena adanya pengaruh dari luar atau karena sikap proaktif dari dalam sekolah dalam melihat peluang.

2.      Organization redesign
Setelah melihat perilaku yang selama ini terjadi di sekolah serta melihat tantangan yang dihadap sekolah, maka strategi selanjutnya adalah mengkaji ulang sekolah bersangkutan. Menghadapi perubahan otonomi pendidikan, maka sekolah harus mendesain kembali strateginya selama ini. Paradigma lama yang digunakan harus diubah dengan paradigma learning organization.

3.      Organization transformation
Organization transformation merupakan proses mentransformasi organisasi menuju perubahan yang dilakukan, yang dampaknya merupakan peningkatan performansi. Fokus pada transformasi sekolah adalah individu pembelajar yang lebih dituntut pada kemampuan melakukan sistem dan menemukan metode dalam pelaksanaan tugas agar organisasi berjalan efisien.

4.      Continous improvement
Bahwa transformasi organisasi yang telah dijalankan harus dilaksanakan secara terus menerus dan berkesinambungan, mencakup academic culture, competency strategy dan inovasi yang dilakukan secara berkelanjutan.

Tahapan strategi reformasi dan transformasi sekolah dipengaruhi oleh dimensi organisasi yaitu leadership, structure, process dan workforce. Dimensi organisasi ini dalam pembelajarannya dipengaruhi oleh system thinking, personal mastery, mental model, shared vision, team learning dan dialoque.
1.      Leadership, merupakan dimensi kepemimpinan yang mempengaruhi kinerja sekolah. Kepemimpinan sengat ditentukan oleh individu bersangkutan (kepala sekolah) dan lingkungan tempat kerja, sehingga gaya kepemimpinan juga akan berbeda dalam penerapannya. Individu yang pembelajar akan menjadikan kepemimpinan menjadi learning leadership yang akan menjadikan organisasi sekolah menjadi lebih profesional.
2.       Structure, merupakan gambaran dari sekolah yang bersangkutan yang berkaitan dengan struktur organisasi. Struktur sekolah yang diharapkan adalah yang sederhana, efektif, efisien serta mampu merespon lingkungan, termasuk kerja sama yang solid antara sekolah dengan komite sekolah.
3.      Process. Proses dimaksudkan adalah proses yang dilakukan oleh organisasi sekolah dalam upaya manajemen peningkatan mutu berbasis sekolah. Proses tersebut harus transparan dan jelas maksudnya, sehingga citra sekolah akan terbangun dengan proses organisasi yang pofesional dan senantiasa menjadi oganisasi pembelajar.
4.      Workforce. Sumberdaya manusia yang handal merupakan modal utama yang harus dimiliki sekolah dalam reformasi dan transformasi sekolah. Sumberdaya manusia berkaitan dengan individu pembelajar yang senantiasa meningkatkan pengetahuan dan kemampuannya. Dengan adanya individu yang pembelajar akan menjadikan organiasasi menjadi organisasi pembelajar yang bersikap proaktif dalam mengadapi perubahan lingkungan termasuk manajemen berbasis sekolah.

E.     Kepala Sekolah Sebagai Pemimpin Pendidikan

Penerapan pendidikan life skills (kecakapan hidup) dalam sistem pendidikan nasional yang saat ini sedang hangat-hangatnya sebetulnya tidak membutuhkan kurikulum baru. Pendidikan kecakapan hidup membutuhkan perubahan cara pandang guru, terutama kepala sekolah. Dengan begitu, peserta didik akan memiliki cara pandang yang dapat dipergunakan untuk hidupnya karena proses pendidikan seharusnya ditujukan untuk hidup dan bukan sekadar untuk mencari kerja. Tujuan peserta didik dalam bersekolah apabila hanya untuk mencari kerja sudah tidak jamannya lagi. Pendidikan selayaknya tidak untuk sekedar membekali siswa dengan ilmu pengetahuan dan ketrampilan, tetapi pendidikan yang berhasil adalah pendidikan yang bisa mengantar peserta didik memahami dirinya.
Pemahaman terhadap diri sendiri terhadap kelebihan yang dimiliki maupun kelemahan yang dimiliki, dan dengan pemahaman semacam itu maka peserta didik bisa mencari cara untuk menentukan langkah bagi kehidupannya. Sekolah harus mampu membawa misi tersebut, dan misi itu memerlukan dukungan semua pihak dengan pemimpin yang benar-benar Capable sehingga setiap aspek yang diputuskannya dapat dipertanggungjawabkan. keberhasilan pendidikan kecakapan hidup dan pendidikan pada umumnya memerlukan perbaikan kualitas kepala sekolah. Kepala sekolah yang berkualitas dan memiliki kemampuan sebagai seorang pemimpin, pada gilirannya akan sangat membantu proses pendidikan di sekolah. Sistem pendidikan kita selama ini telah salah mengangkat kepala sekolah. Para kepala sekolah biasanya dipilih hanya sekadar sebagai guru senior, tetapi tidak memiliki kemampuan manajemen yang baik. Padahal, dengan kepala sekolah yang berkualitas, mereka akan tahu apa yang dibutuhkan untuk mengatasi kekurangan dalam proses pendidikan di sekolahnya.

Keberhasilan proses pendidikan sangat tergantung pada peran guru dan staf sekolah yang dapat berbagi tanggung-jawab. Keduanya harus mempunyai komitmen terhadap visi yang telah ditetapkan. Peran seorang kepala sekolah sebagai pemimpin pendidikan adalah bagaimana ia dapat memberdayakan secara maksimal kedua kelompok tadi. Sering yang terjadi dilapangan tanggung jawab kebersamaan antara kedua kelompok tersebut belum harmonis untuk mendukung tercapainya pendidikan yang berhasil.




0 komentar:

Posting Komentar