Kamis, 13 Juni 2013

FANA dan BAQA


 BAB II
PEMBAHASAN

A.  Pengertian dan Hubungan Al-Fana, Al-Baqa dan Al-Ittihad
Dari segi bahasa al-fana berarti hilangnya wujud sesuatu. Fana berbeda dengan al-fasad (rusak). Fana artinya tidak tampaknya sesuatu, sedangkan rusak adalah berubahnya sesuatu kepada sesuatu yang lain.1
Bagi sufi, fana mempunyai banyak pengertian, misalnya diartikan sebagai keadaan moral yang luhur, sebagai definisi yang mereka berikan, yaitu fananya sifat jiwa atau sirnanya sifat-sifat yang tercela.2
Sebagai akibat dari fana adalah baqa. Secara harfiah baqa berarti kekal, sedang menurut yang dimaksud para sufi, baqa adalah kekalnya sifat-sifat terpuji, dan sifat-sifat Tuhan dalam diri manusia.
Dalam pengalaman para sufi, fana selalu diiringi dengan baqa dimana keduanya ini merupakan kembar yang tidak dapat dipisahkan.

Untuk mencapai tahap fana seorang sufi harus melalui berbagai tahap yaitu sebagai berikut:
1.    Kefanaan dari diri sendiri dan sifat-sifatnya, dan kekalan dalam sifat-sifat yang Maha Benar.
2.    Kefanaan dari sifat-sifat yang Maha Benar karena melihat yang Maha Benar.
3.  Kefanaan dari penyaksian terhadap kefanaannya sendiri dalam mempergunakan terhadap     wujud yang Maha Benar.
Dalam istilah tasawuf, fana dan baqa datang beriringan, sebagaimana dinyatakan oleh para ahli tasawuf :
“Apabila tampaklah nur kebaqaan, maka fanalah yang tiada, dan baqalah yang kekal”.3




1Abuddin Nata. Akhlak Tasawuf. (Jakarta : PT. Grafindo Persada, 2006). hal. 231.
2Abdurrakhim. Perkembangan Pemikiran dalam Bintang Tasawuf.(Jakarta : Pertja,2001). hal. 33.
3Abuddin Nata. Op.cit.hal. 232

“Tasawuf itu ialah mereka fana dari dirinya dan baqa dengan Tuhannya, karena kehadiran hati mereka bersama Allah”.4
Dengan demikian, dapat dipahami bahwa yang dimaksud dengan fana lenyapnya sifat-sifat basyariah, akhlak yang tercela, kebodohan dan perbuatan maksiat dari diri manusia. Sedangkan baqa adalah kekalnya sifat-sifat ketuhanan, akhlak terpuji, ilmu pengetahuan dan kebersihan diri dari dosa dan maksiat untuk mencapai baqa ini perlu dilakukan usaha-usaha seperti bertaubat, berdzikir, beribadah, dan menghiasi diri dengan akhlak yang terpuji.
Sebagian orang mengisyaratkan, bahwa fana itu adalah meninggalkan sifat-sifat tercela, sedangkan baqa itu melahirkan sifat-sifat terpuji. Dengan demikian, seseorang tidak akan kosong dari kedua sifat tersebut. Tidak mungkin jika hanya didapati adanya salah satu sifat dari kedua sifat tersebut karena orang yang kosong dari sifat-sifat tercela, maka tentu akan nampak sifat-sifat terpuji. Barang siapa yang dikalahkan oleh sifat-sifat tercela, maka sifat terpuji akan tertutup.5
Dalam membahas tentang fana perlu diingatkan tentang bahaya yang mungkin timbul yaitu persangkaan bahwa kefanaan adalah kefanaan kemanusiaan sehingga dia menyangka telah bersifatkan sifat-sifat ketuhanan. Padahal sifat kemanusiaan tidak dapat sirna dari manusia.
Tujuan fana dan baqa yaitu mencapai persatuan secara rohaniah dan batiniah dengan Tuhan, sehingga yang disadarinya hanya Tuhan dalam dirinya.
Adapun kedudukan fana’ dan baqa adalah merupakan hal, karena hal yang demikian tidak terjadi terus-menerus dan juga karena dilimpahkan oleh Tuhan. fana merupakan keadaan dimana seseorang hanya menyadari kehadiran Tuhan dalam dirinya, dan kelihatannya lebih merupakan alat, jembatan atau maqam menuju ittihad (penyatuan rohani dengan Tuhan).
Berbicara fana dan baqa ini erat hubungannya dengan al-iitihad, yakni penyatuan batin atau rohaniah dengan Tuhan, karena tujuan dari fana dan baqa itu sendiri adalah iitihad. Hal yang
demikian sejalan dengan pendapat Mustafa Zahri yang mengatakan bahwa fana dan baqa tidak




4Ibid, hal. 233.
[5] Afif Anshori. Tasawuf Filsafat Syaikh Hamzah Fansuri. (Jakarta : Gelombang Pasang, 
     2004). hal. 167.
dapat dipisahkan dengan pembicaraan paham ittihad. Dalam ajaran ittihad sebagai salah satu metode tasawuf sebagai dikatakan oleh al baidawi, yang dilihat hanya satu wujud sungguhpun sebenarnya yang ada dua wujud yang berpisah dari yang lain. Karena yang dilihat dan yang dirasakan hanya satu wujud, maka dalam ittihad ini bisa terjadi pertukaran peranan antara yang mencintai (manusia) dengan yang dicintai (Tuhan) atau tegasnya antara sufi dan Tuhan.6
Dalam sejarah dakwah Abu Yazid al-bustami (w. 874 M) disebut-sebut sebagai sufi yang pertama kali memperkenalkan paham fana dan baqa ini. Nama beliau sangat istimewa dalam hati kaum sufi seluruhnya.


B.  Tingkatan-Tingkatan Fana

Tingkat I. Fana Fi af-alillah
Fana pada tingkat pertama ini, seseorang telah mulai dalam situasi dimana akal pikiran mulai tidak berjalan lagi, melainkan terjadi sebagai “ilham” tiba-tiba Nur Ilahy terbit dalam hati sanubari muhadara atau kehadiran hati beserta Allah dalam situasi mana, gerak dan diam telah lenyap menjadi gerak dan diamnya Allah.

Tingkat II. Fana Fissifat
Fana pada tingkat II ini, seseorang mulai dalam situasi putusnya diri dari Alma Indrawi dan mulai lenyapnya segala sifat kebendaan, artinya dalam situasi menafikan diri dan meng-isbatkan sifat Allah, memfanakan sifat-sifat diri kedalam kebaqaan Allah yang mempunyai sifat sempurna.

Tingkat III. Fana Fil-Asma
Fana pada tingkat III ini, seseorang telah dalam situasi fananya segala sifat-sifat keisanannya. Lenyap dari Alam wujud yang gelap ini, masuk kedalam Alam ghaib atau yang penuh dengan Nur Cahaya.


6Abuddin Nata. Op.cit.hal. 234-235.


Tingkat IV. Fana Fizzat

Fana pada tingkat IV ini, seorang telah beroleh perasaan bathin pada suatu keadaan yang tak berisi, tiada lagi kanan dan kiri, tiada lagi muka dan belakang, tiada lagi atas dan bawah, pada ruang yang tak terbatas tidak bertepi. Dia telah lenyap dari dirinya sama sekali, dalam keadaan mana hanya dalam kebaqaan Allah semata-mata. Dapat disimpulkan bahwa segala-galanya telah hancur lebur, kecuali wujud yang mutlak.7
Sebagai kesimpulan yang dapat diambil tentang pengertian “Fana” ilah membersihkan diri lahir batin, memfanakan segala penyerupaan-penyerupaan Allah dari segala sifat-sifat kekurangan dan kebaharuan.
hikmah “fana”
  1. Pentauhidan Tuhan semurni-murninya dalam arti, tiada wujud yang mutlaq melahirkan Allah.
  2. Pengenalan Tuhan semurni-murninya, tidak sekedar dengan pengakuan adanya dan satunya saja dengan ucapan kalimah syahadat, tidak sekedar dalil atau pendapat dengan jalan akal pikiran saja, tetapi kita mengenal Tuhan dalam arti “Makrifah”.8

C. Faham Fana’ Seiring Baqa’
Barang siapa yang fana, (melenyapkan ) kebodohan maka baqa ( tetaplah) pengetahuannya yang fana akan angan-angannya. Maka baqalah kehendaknya . demikian kita dapati ungkapan dengan segala bentuk dan sifatnya.
Terkonsentrasinya kepada sesuatu, ini bukan berarti menjadi sesuatu yang salah dicocokan, sehingga apa yang dicegah menjadi perintah, namun artinya bahwa ia tidak melakukan kecuali apa yang telah diperintahkan dan diridhoi Allah, bukan apa yang dibencinya. Orang yang baqa kepada Allah berarti menyirnakan dirinya, ia bekerja bukan untuk mendarat dan menimpa dirinya. Ini berarti bahwa dia bekerja bukan dimaksudkan untuk mendapatkan manfaat dan menolak mendarat dengan menggunakan hak dirinya.

7Mustafa Zahri. Kunci Memahami Ilmu Tasawuf. (Surabaya : PT. Bina Ilmu, 1998), hal. 242.
8Ibid, hal. 243.


Dan salah satu kefanaan adalah fana terhadap hak sebagaimana hadist Ibnu Mas’ud : aku tidak mengetahui bahwa ada diantara para sahabat Rasul yang menghendaki dunia. Fana dalam pengertian tauhid bebarengan dengan baqa, yaitu penetapan terhadap tuhan yang hak dalam hatimu dan menghilangkan tuhan selain Allah. Disinilah bertemu antara naïf dan itsbat.
Ringkasnya bahwa arti fana’ dan baqa’ adalah : bahwa ia telah menyirnakan hak dirinya dan memberikan untuk orang lain. Salah satu dari pengertian fana’, fana dari kesaksian kekhilafan dan gerak – gerak dengan sengaja dan niat, serta baqa’ dalam persaksian yang merupakan penyesuaian dari gerak- gerik dengan sengaja dan bertindak fana dari pengagungan selain dari pada Allah dan baqa dalam dalam mengagung Allah.9
Ada beberapa faham kesufian yang membuktikan adanya keseiringan fana dan baqa yaitu : “Jika kejahilan (iqnorance) dari seseorang hilang yang akan tinggal ialah pengetahuan”.
Bahwa proses penghancuran diri (fana) rupanya tidak dapat dipisahkan dari baqa (tetap, terus hidup). Maksudnya adalah apabila proses penghilangan sifat manusia dari hasil penghancuran tersebut, maka yang muncul kemudian adalah sifat yang ada pada manusia itu. Ada beberapa paham kesufian yang membuktikan adanya keseiringan fana dan baqa yaitu :
a.       “Jika kejahilan dari seseorang hilang yang akan tinggal adalah pengetahuan”
b.      “Jika seseorang dapat menghilangkan maksiatnya, maka yang akan tinggal ialah taqwanya”
c.       “Siapa yang menghancurkan sifat-sifat (akhlak) yang buruk, maka tinggallah baginya sifat- sifat  yang    baik”
d.      “Siapa yang menghilangkan sifat-sifatnya maka mempunyai sifat-sifat Tuhan”10











9Abuddin Nata, op.cit. hal. 237.
10Ibid, hal. 238.
D.Tokoh Sufi tentang Fana dan Baqa

Abu Yazid Bustami

            Abu Yazid al-Bustami (wafat 874 M) adalah seorang ahli sufi yang terkenal di Persia sekitar abad ketiga hijriyah. Ia disebut-sebut sebagai sufi yang pertama kali memperkenalkan faham fana’ dan baqa’. Nama kecilnya adalah Thaifur. Sebelum ia mendalami tasawuf ia mempelajari ilmu fiqh terutama mazhab Hanafi. Ia memperingatkan manusia agar tidak terpedaya dengan seseorang sebelum melihat sebagaimana ia melakukan perintah dan meninggalkan larangan Tuhan, menjaga ketentuan-ketentuan dan melaksanakan syari’at-Nya. Selengkapnya perkataan beliau adalah :

لو نظرتم الي رجل اعطى كرامات حتى يرتقي في الهوء فلا تغتروا به حتي تنظروا كيف تجدونه عند االامر والنهي وحفظ الحدود واداء الشريعة

“Kalau kamu melihat seseorang mempunyai keramat yang besar-besar, walaupun dia sanggup terbang di udara maka janganlah kamu tertipu, sebelum kamu lihat bagaimana dia mengikuti perintah syari’at dan menjauhi batas-batas yang dilarang syari’at”.
            Setelah ia mendalami tasawuf, ia memunculkan faham baqa’ dan fana’, dimana apabila ia telah fana’ dan mencapai baqa’ maka keluarlah kata-kata yang ganjil yang jika tidak hati-hati memahami akan menimbulkan kesan seolah-olah Abu Yazid mengaku dirinya sebagai Tuhan. Ia sering dipandang pula sebagai sufi “yang mabuk” lantaran ia terlalu jauh mengucapkan kalimat ketuhanan dalam dirinya.
            Paham ini mendapat tanggapan yang berbeda dikalangan para ulama. Banyak yang pro maupun kontra. Perbedaan sikap ini terutama dikalangan ulama sufi dan dikalangan ulama fiqh. Oleh sebab itu penulis merasa tertarik untuk membahas hal ini dalam sebuah makalah singkat yang fokusnya terutama pada tokoh pendiri, pokok-pokok ajaran dan beberapa analisa terhadap ajaran-ajarannya yang dikembangkannya.


Pokok Ajaran Tasawuf al-Bustami : al-Fana’, al-Baqa’, dan al-Ittihad

            Ahli sufi berpendapat bahwa terdapat dua aliran tasawuf pada abad ketiga hijriah. Pertama,aliran sufi ynag pendapat-pendapatnya moderat, tasawufnya selalu merujuk kepada Al-Qur’an dan al-Sunnah atau dengan kata lain tasawuf yang mengacu kepada syari’at dan para sufinya adalah para ulama terkenal serta tasawufnya didominasi oleh ciri-ciri normal. Kedua, adalah aliran sufi yang terpesona dengan keadaan-keadaan fana’ sering mengucapkan kata-kata yang ganjil yang terkenal dengan nama syathahat, yaitu ucapan-ucapan ganjil yang dikeluarkan seorang sufi ketika ia berada digerbang ittihad[9]. Mereka menumbuhkan konsep-konsep manusia melebur dengan Allah yang disebut ittihad ataupun hulul dan ciri-ciri aliran ini cenderung metafisis.



11Ibn Taimiyah.Gerakgerik Qalbu.(Bandung : Pustaka Hidayah, 2005). Hal 215-249
            Diantara sufi yang berpendapat bahwa manusia dapat bersatu dengan Tuhan adalah Abu Yazid al-Bustami yang sekaligus dipandang sebagai pembawa faham al-Fana’, al-Baqa’, dan al-ittihad.

            Dari segi bahasa al-Fana’ berarti binasa, Fana’ berbeda dengan al-Fasad (rusak). Fana’ artinya tidak nampaknya sesuatu, sedangkan Fasad atau rusak adalah berubahnya sesuatu menjadi sesuatu yang lain. Menurut ahli sufi, arti Fana’ adalah hilangnya kesadaran pribadi dengan dirinya sendiri atau dengan sesuatu yang lazimnya digunakan pada diri. Fana’juga berarti bergantinya sifat-sifat kemanusiaan dengan sifat-sifat ketuhanan dan dapat pula berarti hilangnya sifat-sifat tercela.

            Mustafa Zahri mengatakan bahwa yang dimaksud Fana’ adalah lenyapnya inderawi atau kebasyariahan, yakni sifat sebagai manusia biasa yang suka pada syahwat dan hawa nafsu. Orang yang telah diliputi hakikat ketuhanan, sehingga tiada lagi melihat alam baharu, alam rupa dan alam wujud ini, maka ia akan dikatakan Fana’ dari alam cipta atau dari alam makhluk. Selain itu Fana’ juga dapat berarti hilangnya sifat-sifat buruk lahir bathin.

            Sebagai akibat dari Fana’ adalah Baqa’, secara harfiah Baqa’ berarti kekal sedangkan dalam pandangan kaum sufi, Baqa’ adalah kekalnya sifat-sifat terpuji dan sifat-sifat Tuhan dalam diri manusia. Karena sifat-sifat kemanusiaan (basyariah) telah lenyap maka yang kekal dan tinggal adalah sifat-sifat ilahiyah atau ketuhanan. Fana’ dan Baqa’ ini menurut ahli tasawuf datang beriringan sebgaimana ungkapan mereka :”Apabila nampak nur ke Baqa’an, maka Fana’lah yang tiada dan Baqa’lah yangkekal”. Juga ungkapan mereka : “Tasawuf itu adalah mereka Fana’ dari dirinya dan Baqa’ dengan Tuhannya, karena kehadiran mereka bersama Allah”.

            Abu Yazid al-Bustami berpendapat bahwa manusia hakikatnya se-esensi dengan Allah, dapat bersatu dengan-Nya apabila ia mampu melebur eksitensi keberadaan-Nya sebagi suatu pribadi sehingga ia tidak menyadari dirinya.

            Menurut al-Qusyairi, Fana’ yang dimaksud adalah : Fana’nya seseorang dari dirinya dan makhluk lain, terjadi dengan hilangnya kesadaran tentang dirinya dan tentang mahkluk lain itu. Sebenarnya dirinya tetap ada dan demikian pula mahkluk lain ada, tetapi ia tidak sadar lagi pada mereka dan pada dirinya.13

            Diantara kaum sufi ada yang berpendapat bahwa manusia dapat bersatu dengan Tuhan. Seorang sufi yang sampai pada tingkat ma’rifah akan melihat Tuhan dengaqn mata sanubarinya.
            Menurut al-Syathi, proses penghancuran sifat-sifat basyariah, disebut Fana’ al-sifat dan proses penghancuran tentang irodah dirinya disebut Fana’ al-irodah serta proses penghancuran tentang adanya wujud dirinya dan zat yang lain disekitarnya disebut Fana’ al-nafs.



13Ibn Taimiyah.Op.Cit. Hal 219
            Apabila seorang sufi telah sampai kepada Fana’ al-nafs yaitu tidak disadarinya wujud jasmaniyah, maka yang tinggal adalah wujud rohaniahnya dan ketika itu ia bersatu dengan Tuhan secara ruhani.

            Dari berbagai uraian tersebut diketahui bahwa yang dituju dengan Fana’ dan Baqa’ adalah mencapai persatuan secara rohaniah dan bathiniah dengan Tuhan, sehingga yang disadarinya hanya Tuhan dalam dirinya. Dengan demikian materimanusianya tetap ada, sama sekali tidak hancur, demikianlah juga alam sekitarnya, yang hilang atau hancur hanya kesadaran dirinya sebagai manusia, ia tidak lagi merasakan jasad kasarnya.

            Al-Kalabazi (wafat 380 H) menjelaskan bahwa keadaan Fana’ itu tidak bisa berlangsung terus-menerus sebab kelangsungannya yang terus-menerus akan menghentikan organ-organ tubuh untuk melaksanakan fungsinya sebagai hamba Allah dan peranannya sebagain khalifah di muka bumi.

            Bila seseorang telah Fana’ atau tidak sadar lagi tentanmg wujudnya sendiri dan wujud lain disekitarnya pada saat itulah ia sampai kepada Baqa’ dan berlanjut kepada Ittihad. Fana’ dan Baqa’ menurut sufi adalah kembar dan tak terpisahkan sebagaimana ungkapan mereka : “Siapa yang menghilangkan sifat-sifatnya, maka yang ada adalah sifat-sifat Tuhan”.

            Dengan tercapainya Fana’ dan Baqa’ maka seorang sufi dianggap telah sampai kepada tingkat ittihad atau menyatu dengan yang Maha Tunggal (Tuhan) yang oleh Bayazid disebut “Tajrid Fana’ fi at- Tauhid” yaitu dengan perpaduan dengan Tuhan tanpa diantarai oleh sesuatu apapun.14

            Dalam ajaran ittihad, yang dilihat hanya satu wujud meskipun sebenarnya ada dua wujud yaitu Tuhan dan manusia. Karena yang dilihat dan yang dirasakan hanya satu wujud maka dalam ittihad ini bisa jadi pertukaran peranan antara manusia dengan Tuhan. Dalam suasana seperti ini mereka merasa bersatu dengan Tuhan, suatu tingkatan dimana antara yang mencinta dan yang dicintai telah menjadi satu, sehingga salah satu memanggil yang lain dengan kata-kata “Hai Aku”[21]. Dalam keadaan Fana’ si sufi yang bersangkutan tidak mempunyai kesadaran lagi sehingga ia berbicara atas nama Tuhan.

Al-Bustami ketika telah Fana’ dan mencapai Baqa’ maka dia mengucapkan kata-kata ganjil seperti :

“ Tidak ada Tuhan melainkan aku, sembahlah aku, Maha suci aku, Maha suci aku, Maha besar aku”.





14 Ibn Taimiyah.Op.Cit. Hal 235

            Selanjutnya diceritakan bahwa seorang lelaki lewat rumah Abu Yazid (al-Bustami) dan mengetok pintu, Abu Yazid bertanya : “Siapa yang engkau cari ?” jawabnya : “Abu Yazid”. Lalu Abu Yazid mengatakan : “Pergilah, dirumah ini tidak ada kecuali Allah yang Maha Kuasa dan Maha Tinggi”.

            Ittihad ini dipandang sebagai penyelewengan (inhiraf) bagi orang yang toleran, akan tetapi bagi orang yang keras berpegang pada agama hal ini dipandang sebagai suatu kekufuran. Faham ittihad ini selanjutnya dapat mengambil bentuk hulul dan wahdat al-wujud.

            Ittihad juga adalah hal yang sama yang dijadikan faham oleh al-Hallaj (lahir 224 H / 858 M) dengan fahamnya al-Hulul yang berarti penyatuan meliputi : a) penyatuan substansial antara jasad dan ruh; b) penyatuan ruh dengan Tuhan dalam diri manusia; c) inkarnasi suatu aksiden dalam substansinya; d) penyatuan bentuk dengan materi pertama dan e) hubungan antara suatu benda dengan tempatnya.

            Meskipun demikian terdapat perbedaan al-Hulul dengan ittihad yaitu dalam hulul, jasad al-hallaj tidak lebur sedangkan dalam ittihad dalam diri al-Bustami lebur dan yang ada hanya diri Allah. Dan dalam ittihad yang dilihat hanya satu wujud dan dalam hulul ada dua wujud yang bersatu dalam satu tubuh.

Faham sufi yang juga dekat dengan faham Ittihad ini adalah dengan faham wahdat al-wujud yang diperkenalkan oleh Ibn Araby wafat tahun 638 H/ 1240 M). Faham wahdat al-wujud ini menurut Harun Nasution adalah merupakan kelanjutan dari faham al-Hulul. Konsep wahdat al-wujud ini memahami bahwa aspek ketuhanan ada dalam tiap mahkluk, bukan hanya manusia sebagaimana yang dikatakan al-Hallaj.

            Paham fana’, Baqa’, dan Ittihad menurut kaum sufi sejalan dengan konsep pertemuan dengan Allah. Fana’ dan Baqa’ juga dianggap merupakan jalan menuju pertemuan dengan Tuhan sesuai dengan Firman Allah SWT yang bunyinya :

            “Barang siapa yang mengharapkan perjumpaan dengan Tuhannya, maka hendaklah ia mengerjakan amal yang shaleh dan janganlah ia mempersekutukan seorang pun dalam beribadat kepada-Nya” (Q.S. al-Kahfi, 18 : 110)15

            Hal yang lebih jelas mengenai proses Ittihad dapat pula kita simak melalui ungkapan al-Bustami : “Pada suatu hari ketika saya dinaikkan ke hadirat Allah, Ia berkata, “Hai Abu Yazid, mahkluk-Ku ingin melihatmu, aku menjawab, hiasilah aku dengan keesaan itu, sehingga apabila mahkluk itu melihatku mereka akan berkata :“Kami tetap melihat engkau, maka yang demikian adalah engkau dan aku tidak ada disana”.





15Ibn Taimiyah.Op.Cit. Hal 236

            Hal ini merupakan ilustrasi proses terjadinya Ittihad, Demikian juga dalam ungkapan Abu Yazid : “Tuhan berkata : semua mereka kecuali engkau adalah mahklukku, aku pun berkata : Aku adalah engkau, engkau adalah aku dan aku adalah engkau. sebenarnya kata-kata “Aku” bukanlah sebagai gambaran dari diri Abu Yazid, tetapi gambaran Tuhan, karena ia telah bersatu dengan Tuhan sehingga dapat dikatakan bahwa Tuhan bicara melalui lidah Abu Yazid sedang Abu Yazid tidak mengetahui dirinya Tuhan.


Beberapa Analisa Terhadap Ungkapan-ungkapan al-Bustami

            Apabila dilihat sepintas, maka dari ungkapan-ungkapan al-Bustami dapat dikategorikan sebagai paham yang menyimpang dari ketentuan agama seperti pernyataannya “Aku ini adalah Allah tiada Tuhan selain aku, maka sembahlah aku” yang telah dikemukakan diatas. Secara harfiah al-Bustami seakan-akan mengaku sebagai Tuhan pada saat Fana’. Namun kalau kita perhatikan kata-kata beliau dalam keadaan biasa (tidak dalam keadaan Fana’) yang mengatakan “kalau kamu lihat seseorang mempunyai keramat yang besar-besar,walaupun dia sanggup terbang di udara maka janganlahkamu tertipu, sebelum kamu lihat bagaimana dia mengikuti perintah syari’at dan dan menjauhi batas-batas yang dilarang syari’at”, maka dapat dipahami bahwa al-Bustami dalam tasawuf tidaklah keluar dari garis-garis syari’at. Memang ungkapan-ungkapan al-Bustami seakan-akan beliau mengaku dirinya Tuhan, namun sebenarnya bukan itu yang dimaksudnya, karena kata-kata itu adalah firman Tuhan yang disalurkan lewat lidah al-Bustami yang sedang dalam keadaan Fana’al-nafs. Dalam hal ini beliau menjelaskan :

“Sesungguhnya yang berbicara melalui lidahku adalah dia sementara aku telah Fana’”. Jadi sebenarnya Abu Yazid tidaklah mengaku dirinya sebagai Tuhan, namun perkataanya menimbulkan berbagai tanggapan.16

            Al-Tusi mengatakan : Ucapan ganji (al-Syaht) adalah ungkapan yang ditafsirkan lidah atas limpahan intuisi dari dalam relung hatinya dan dibarengi seruan. Seorang sufi yang sedang trance tidak bisa mengendalikan diri sepenuhnya sehingga sulit untuk bisa mengendalikan apa yang bergejolak dalam kalbunya dan membuat seseorang mengungkapkan kata-kata yang sulit dipahami oleh pendengarnya.

            Oleh sebab itu menurut al-Tusi, bila seorang sufi sedang Fana’ dari hal-hal yang berkenaan dengan dirinya, bukan berarti ia kehilangan sifat-sifat basyariahnya sebab sifat itu tidak dapat sirna dari diri manusia. Akan sangat berbahaya dari keyakinan seorang muslim jika menganggap kefana’an adalah kefana’an sifat-sifat manusia dan ia bersifatkan sifat-sifat ketuhanan. Menurut pendapat yang mengatakan ketika Fana’ hilang sifat-sifat mereka dan masuk sifat-sifat Yang





16Ibn Taimiyah.Op.Cit. Hal 237

            Maha Benar adalah keliru, karena dapat mengantar mereka kepada Hulul atau penyatuan manusia dengan Tuhan. Sebab Tuhan tidak Hulul dalam kalbu tetapi yang bertempat dalam kalbu adalah keimanan kepada-Nya, pembenaran kepada-Nya dan pengenalan akan dia.

            Louis Massignon menyatakan bahwa ungkapan yang muncul pada seorang sufi diluar sadarnya berarti telah Fana’ dari dirinya sendiri serta kekal dalam zat Yang Maha Benar, sehingga ia mengucap dalam kalam Yang Maha Benar dan bukan ucapannya sendiri dan perkataan tersebut tidak akan terucap dalam kondisi normal bahkan akan ditolak oleh dirinya sendiri.

            Al-Junaid mengatakan bahwa seorang sufi yang dalam keadaan trance tidak mengucapkan tentang dirinya sendiri tapi tentang apa yang disaksikannya yaitu Allah. Ia sangat terbuai sehingga tidak ada yang disaksikan kecuali Allah. Al-Junaidi menilai bahwa al-Bustami adalah termasuk para sufi yang tidak bisa mengendalikan diri serta tunduk pad intiusi sehingga tidak bisa menjadi panutan sufi lainnya. Demikian pula menurut Ibn Taimiyah bahwa seorang sufi yang trance dihapus saja, bukan untuk dituturkan dan dilaksanakan. Semantara itu ulama yang berpegang teguh kepada syari’at secara zhahir menuduhnya sebagai sufi kafir karena menyamakan dirinya dengan Allah dan ulama yang lain mentolerir ucapan semacam itu dianggap sebagai penyelewengan dan bukan kekafiran.17

            Berdasarkan pendapat-pendapat diatas ternyata ungkapan-ungkapan al-Bustami disampaikan dalam keadaan Fana’ dan tidak dapat dijadikan pedoman karena diucapkan dalam keadaan tidak sadar atau tidak dalam keadaan mukallaf yangb sempurna, oleh sebab itu, tidaklah tepat kalau ia dituduh sebagai seorang sufi yang kafir. Lagi pula faham Fana’ dan Baqa’ yang ditujukan untuk mencapai ittihad itu dapat dipandang sejalan dengan konsep liqa al-arabbi.Fana’ dan Baqa’ merupakan jalan menuju perjumpaan dengan Tuhan. Hal ini sejalan dengan Firman Allah SWT pada surah Al-Kahfi ayat 110 diatas, ayat tersebut memberi isyarat bahwa Allah SWT telah memberi peluang kepada manusia untuk menemuinya, bahkan karena sudah merasa terlalu dekat dengan Tuhan al-Bustami telah merasa berittihad dengan-Nya. Konasep Fana’ dan Baqa’ ini juga di ilhami dari isyarat ayat yang berbunyi :

“Semua yang ada di bumi ini adalah binasa (26) dan tetap kekal wajah Tuhanmu yang mempunyai kebesaran dan kemuliaan (27)”. (QS. Al-Rahman, 55 : 26-27)




0 komentar:

Posting Komentar