BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian dan Hubungan Al-Fana, Al-Baqa dan Al-Ittihad
Dari segi bahasa al-fana berarti
hilangnya wujud sesuatu. Fana berbeda dengan al-fasad (rusak). Fana
artinya tidak tampaknya sesuatu, sedangkan rusak adalah berubahnya sesuatu
kepada sesuatu yang lain.1
Bagi sufi, fana mempunyai banyak
pengertian, misalnya diartikan sebagai keadaan moral yang luhur, sebagai
definisi yang mereka berikan, yaitu fananya sifat jiwa atau sirnanya
sifat-sifat yang tercela.2
Sebagai akibat dari fana adalah baqa.
Secara harfiah baqa berarti kekal, sedang menurut yang dimaksud para sufi, baqa
adalah kekalnya sifat-sifat terpuji, dan sifat-sifat Tuhan dalam diri manusia.
Dalam pengalaman para sufi, fana selalu
diiringi dengan baqa dimana keduanya ini merupakan kembar yang tidak dapat
dipisahkan.
Untuk mencapai tahap fana seorang sufi
harus melalui berbagai tahap yaitu sebagai berikut:
1. Kefanaan dari diri
sendiri dan sifat-sifatnya, dan kekalan dalam sifat-sifat yang Maha Benar.
2. Kefanaan dari
sifat-sifat yang Maha Benar karena melihat yang Maha Benar.
3. Kefanaan dari penyaksian
terhadap kefanaannya sendiri dalam mempergunakan terhadap wujud yang Maha Benar.
Dalam istilah tasawuf, fana dan baqa
datang beriringan, sebagaimana dinyatakan oleh para ahli tasawuf :
“Apabila tampaklah nur kebaqaan, maka fanalah yang tiada, dan baqalah yang kekal”.3
1Abuddin Nata. Akhlak Tasawuf.
(Jakarta : PT. Grafindo Persada, 2006). hal. 231.
2Abdurrakhim. Perkembangan
Pemikiran dalam Bintang Tasawuf.(Jakarta : Pertja,2001). hal. 33.
3Abuddin Nata.
Op.cit.hal. 232
“Tasawuf itu ialah mereka fana dari dirinya dan baqa
dengan Tuhannya, karena kehadiran hati mereka bersama Allah”.4
Dengan demikian, dapat dipahami bahwa
yang dimaksud dengan fana lenyapnya sifat-sifat basyariah, akhlak yang tercela,
kebodohan dan perbuatan maksiat dari diri manusia. Sedangkan baqa adalah
kekalnya sifat-sifat ketuhanan, akhlak terpuji, ilmu pengetahuan dan kebersihan
diri dari dosa dan maksiat untuk mencapai baqa ini perlu dilakukan usaha-usaha
seperti bertaubat, berdzikir, beribadah, dan menghiasi diri dengan akhlak yang
terpuji.
Sebagian orang mengisyaratkan, bahwa
fana itu adalah meninggalkan sifat-sifat tercela, sedangkan baqa itu
melahirkan sifat-sifat terpuji. Dengan demikian, seseorang tidak akan
kosong dari kedua sifat tersebut. Tidak mungkin jika hanya didapati adanya
salah satu sifat dari kedua sifat tersebut karena orang yang kosong dari
sifat-sifat tercela, maka tentu akan nampak sifat-sifat terpuji. Barang siapa
yang dikalahkan oleh sifat-sifat tercela, maka sifat terpuji akan tertutup.5
Dalam membahas tentang fana perlu
diingatkan tentang bahaya yang mungkin timbul yaitu persangkaan bahwa kefanaan
adalah kefanaan kemanusiaan sehingga dia menyangka telah bersifatkan
sifat-sifat ketuhanan. Padahal sifat kemanusiaan tidak dapat sirna dari
manusia.
Tujuan fana dan baqa yaitu mencapai
persatuan secara rohaniah dan batiniah dengan Tuhan, sehingga yang disadarinya
hanya Tuhan dalam dirinya.
Adapun kedudukan fana’ dan baqa
adalah merupakan hal, karena hal yang demikian tidak terjadi terus-menerus dan
juga karena dilimpahkan oleh Tuhan. fana merupakan keadaan dimana seseorang
hanya menyadari kehadiran Tuhan dalam dirinya, dan kelihatannya lebih merupakan
alat, jembatan atau maqam menuju ittihad (penyatuan rohani dengan Tuhan).
Berbicara fana dan baqa ini erat
hubungannya dengan al-iitihad, yakni penyatuan batin atau rohaniah dengan
Tuhan, karena tujuan dari fana dan baqa itu sendiri adalah iitihad. Hal yang
demikian sejalan dengan pendapat Mustafa Zahri yang
mengatakan bahwa fana dan baqa tidak
4Ibid, hal. 233.
[5]
Afif Anshori. Tasawuf Filsafat Syaikh Hamzah Fansuri. (Jakarta : Gelombang Pasang,
2004). hal. 167.
dapat dipisahkan dengan pembicaraan paham ittihad. Dalam
ajaran ittihad sebagai salah satu metode tasawuf sebagai dikatakan oleh al
baidawi, yang dilihat hanya satu wujud sungguhpun sebenarnya yang ada dua wujud
yang berpisah dari yang lain. Karena yang dilihat dan yang dirasakan hanya satu
wujud, maka dalam ittihad ini bisa terjadi pertukaran peranan antara yang
mencintai (manusia) dengan yang dicintai (Tuhan) atau tegasnya antara sufi dan
Tuhan.6
Dalam sejarah dakwah Abu Yazid
al-bustami (w. 874 M) disebut-sebut sebagai sufi yang pertama kali
memperkenalkan paham fana dan baqa ini. Nama beliau sangat istimewa dalam hati
kaum sufi seluruhnya.
B.
Tingkatan-Tingkatan Fana
Tingkat I. Fana Fi af-alillah
Fana pada tingkat
pertama ini, seseorang telah mulai dalam situasi dimana akal pikiran mulai
tidak berjalan lagi, melainkan terjadi sebagai “ilham” tiba-tiba Nur Ilahy
terbit dalam hati sanubari muhadara atau kehadiran hati beserta Allah dalam
situasi mana, gerak dan diam telah lenyap menjadi gerak dan diamnya Allah.
Tingkat II. Fana Fissifat
Fana pada tingkat
II ini, seseorang mulai dalam situasi putusnya diri dari Alma Indrawi dan mulai
lenyapnya segala sifat kebendaan, artinya dalam situasi menafikan diri dan
meng-isbatkan sifat Allah, memfanakan sifat-sifat diri kedalam kebaqaan Allah
yang mempunyai sifat sempurna.
Tingkat III. Fana Fil-Asma
Fana pada tingkat III ini, seseorang
telah dalam situasi fananya segala sifat-sifat keisanannya. Lenyap dari Alam
wujud yang gelap ini, masuk kedalam Alam ghaib atau yang penuh dengan Nur
Cahaya.
6Abuddin Nata. Op.cit.hal. 234-235.
Tingkat IV. Fana Fizzat
Fana pada tingkat
IV ini, seorang telah beroleh perasaan bathin pada suatu keadaan yang tak
berisi, tiada lagi kanan dan kiri, tiada lagi muka dan belakang, tiada lagi
atas dan bawah, pada ruang yang tak terbatas tidak bertepi. Dia telah lenyap
dari dirinya sama sekali, dalam keadaan mana hanya dalam kebaqaan Allah
semata-mata. Dapat disimpulkan bahwa segala-galanya telah hancur lebur, kecuali
wujud yang mutlak.7
Sebagai kesimpulan
yang dapat diambil tentang pengertian “Fana” ilah membersihkan diri
lahir batin, memfanakan segala penyerupaan-penyerupaan Allah dari segala
sifat-sifat kekurangan dan kebaharuan.
hikmah “fana”
- Pentauhidan Tuhan semurni-murninya dalam arti, tiada
wujud yang mutlaq melahirkan Allah.
- Pengenalan Tuhan semurni-murninya, tidak sekedar
dengan pengakuan adanya dan satunya saja dengan ucapan kalimah syahadat,
tidak sekedar dalil atau pendapat dengan jalan akal pikiran saja, tetapi
kita mengenal Tuhan dalam arti “Makrifah”.8
C. Faham
Fana’ Seiring Baqa’
Barang siapa yang fana, (melenyapkan
) kebodohan maka baqa ( tetaplah) pengetahuannya yang fana akan angan-angannya.
Maka baqalah kehendaknya . demikian kita dapati ungkapan dengan segala bentuk
dan sifatnya.
Terkonsentrasinya kepada sesuatu,
ini bukan berarti menjadi sesuatu yang salah dicocokan, sehingga apa yang
dicegah menjadi perintah, namun artinya bahwa ia tidak melakukan kecuali apa
yang telah diperintahkan dan diridhoi Allah, bukan apa yang dibencinya. Orang
yang baqa kepada Allah berarti menyirnakan dirinya, ia bekerja bukan untuk
mendarat dan menimpa dirinya. Ini berarti bahwa dia bekerja bukan dimaksudkan
untuk mendapatkan manfaat dan menolak mendarat dengan menggunakan hak dirinya.
7Mustafa Zahri. Kunci Memahami Ilmu Tasawuf. (Surabaya : PT. Bina
Ilmu, 1998), hal. 242.
8Ibid, hal. 243.
Dan salah satu kefanaan adalah fana terhadap hak sebagaimana hadist Ibnu
Mas’ud : aku tidak mengetahui bahwa ada diantara para sahabat Rasul yang
menghendaki dunia. Fana dalam pengertian tauhid bebarengan dengan baqa,
yaitu penetapan terhadap tuhan yang hak dalam hatimu dan menghilangkan tuhan
selain Allah. Disinilah bertemu antara naïf dan itsbat.
Ringkasnya bahwa arti fana’ dan
baqa’ adalah : bahwa ia telah menyirnakan hak dirinya dan memberikan untuk
orang lain. Salah satu dari pengertian fana’, fana dari kesaksian kekhilafan
dan gerak – gerak dengan sengaja dan niat, serta baqa’ dalam persaksian yang
merupakan penyesuaian dari gerak- gerik dengan sengaja dan bertindak fana dari
pengagungan selain dari pada Allah dan baqa dalam dalam mengagung Allah.9
Ada beberapa faham kesufian yang
membuktikan adanya keseiringan fana dan baqa yaitu : “Jika kejahilan
(iqnorance) dari seseorang hilang yang akan tinggal ialah pengetahuan”.
Bahwa proses penghancuran diri (fana) rupanya tidak dapat dipisahkan dari baqa (tetap, terus hidup). Maksudnya adalah apabila proses penghilangan sifat manusia dari hasil penghancuran tersebut, maka yang muncul kemudian adalah sifat yang ada pada manusia itu. Ada beberapa paham kesufian yang membuktikan adanya keseiringan fana dan baqa yaitu :
Bahwa proses penghancuran diri (fana) rupanya tidak dapat dipisahkan dari baqa (tetap, terus hidup). Maksudnya adalah apabila proses penghilangan sifat manusia dari hasil penghancuran tersebut, maka yang muncul kemudian adalah sifat yang ada pada manusia itu. Ada beberapa paham kesufian yang membuktikan adanya keseiringan fana dan baqa yaitu :
a. “Jika kejahilan dari seseorang hilang yang akan tinggal adalah
pengetahuan”
b. “Jika seseorang dapat menghilangkan maksiatnya, maka yang akan
tinggal ialah taqwanya”
c. “Siapa yang menghancurkan sifat-sifat (akhlak) yang buruk, maka
tinggallah baginya sifat- sifat
yang baik”
d. “Siapa yang menghilangkan sifat-sifatnya maka mempunyai
sifat-sifat Tuhan”10
9Abuddin Nata, op.cit. hal. 237.
10Ibid, hal. 238.
D.Tokoh Sufi
tentang Fana dan Baqa
Abu Yazid
Bustami
Abu
Yazid al-Bustami (wafat 874 M) adalah seorang ahli sufi yang terkenal di Persia
sekitar abad ketiga hijriyah. Ia disebut-sebut sebagai sufi yang pertama kali
memperkenalkan faham fana’ dan baqa’. Nama kecilnya adalah Thaifur. Sebelum ia
mendalami tasawuf ia mempelajari ilmu fiqh terutama mazhab Hanafi. Ia
memperingatkan manusia agar tidak terpedaya dengan seseorang sebelum melihat
sebagaimana ia melakukan perintah dan meninggalkan larangan Tuhan, menjaga
ketentuan-ketentuan dan melaksanakan syari’at-Nya. Selengkapnya perkataan
beliau adalah :
لو نظرتم الي
رجل اعطى كرامات حتى يرتقي في الهوء فلا تغتروا به حتي تنظروا كيف تجدونه عند
االامر والنهي وحفظ الحدود واداء الشريعة
“Kalau
kamu melihat seseorang mempunyai keramat yang besar-besar, walaupun dia sanggup
terbang di udara maka janganlah kamu tertipu, sebelum kamu lihat bagaimana dia
mengikuti perintah syari’at dan menjauhi batas-batas yang dilarang syari’at”.
Setelah
ia mendalami tasawuf, ia memunculkan faham baqa’ dan fana’, dimana apabila ia
telah fana’ dan mencapai baqa’ maka keluarlah kata-kata yang ganjil yang jika
tidak hati-hati memahami akan menimbulkan kesan seolah-olah Abu Yazid mengaku
dirinya sebagai Tuhan. Ia sering dipandang pula sebagai sufi “yang mabuk”
lantaran ia terlalu jauh mengucapkan kalimat ketuhanan dalam dirinya.
Paham
ini mendapat tanggapan yang berbeda dikalangan para ulama. Banyak yang pro
maupun kontra. Perbedaan sikap ini terutama dikalangan ulama sufi dan
dikalangan ulama fiqh. Oleh sebab itu penulis merasa tertarik untuk membahas
hal ini dalam sebuah makalah singkat yang fokusnya terutama pada tokoh pendiri,
pokok-pokok ajaran dan beberapa analisa terhadap ajaran-ajarannya yang dikembangkannya.
Pokok Ajaran
Tasawuf al-Bustami : al-Fana’, al-Baqa’, dan al-Ittihad
Ahli
sufi berpendapat bahwa terdapat dua aliran tasawuf pada abad ketiga hijriah.
Pertama,aliran sufi ynag pendapat-pendapatnya moderat, tasawufnya selalu
merujuk kepada Al-Qur’an dan al-Sunnah atau dengan kata lain tasawuf yang
mengacu kepada syari’at dan para sufinya adalah para ulama terkenal serta
tasawufnya didominasi oleh ciri-ciri normal. Kedua, adalah aliran sufi yang
terpesona dengan keadaan-keadaan fana’ sering mengucapkan kata-kata yang ganjil
yang terkenal dengan nama syathahat, yaitu ucapan-ucapan ganjil yang
dikeluarkan seorang sufi ketika ia berada digerbang ittihad[9]. Mereka
menumbuhkan konsep-konsep manusia melebur dengan Allah yang disebut ittihad
ataupun hulul dan ciri-ciri aliran ini cenderung metafisis.
11Ibn Taimiyah.Gerakgerik Qalbu.(Bandung : Pustaka
Hidayah, 2005). Hal 215-249
Diantara
sufi yang berpendapat bahwa manusia dapat bersatu dengan Tuhan adalah Abu Yazid
al-Bustami yang sekaligus dipandang sebagai pembawa faham al-Fana’, al-Baqa’,
dan al-ittihad.
Dari
segi bahasa al-Fana’ berarti binasa, Fana’ berbeda dengan al-Fasad (rusak).
Fana’ artinya tidak nampaknya sesuatu, sedangkan Fasad atau rusak adalah
berubahnya sesuatu menjadi sesuatu yang lain. Menurut ahli sufi, arti Fana’
adalah hilangnya kesadaran pribadi dengan dirinya sendiri atau dengan sesuatu
yang lazimnya digunakan pada diri. Fana’juga berarti bergantinya sifat-sifat
kemanusiaan dengan sifat-sifat ketuhanan dan dapat pula berarti hilangnya
sifat-sifat tercela.
Mustafa
Zahri mengatakan bahwa yang dimaksud Fana’ adalah lenyapnya inderawi atau
kebasyariahan, yakni sifat sebagai manusia biasa yang suka pada syahwat dan
hawa nafsu. Orang yang telah diliputi hakikat ketuhanan, sehingga tiada lagi
melihat alam baharu, alam rupa dan alam wujud ini, maka ia akan dikatakan Fana’
dari alam cipta atau dari alam makhluk. Selain itu Fana’ juga dapat berarti
hilangnya sifat-sifat buruk lahir bathin.
Sebagai
akibat dari Fana’ adalah Baqa’, secara harfiah Baqa’ berarti kekal sedangkan
dalam pandangan kaum sufi, Baqa’ adalah kekalnya sifat-sifat terpuji dan
sifat-sifat Tuhan dalam diri manusia. Karena sifat-sifat kemanusiaan
(basyariah) telah lenyap maka yang kekal dan tinggal adalah sifat-sifat
ilahiyah atau ketuhanan. Fana’ dan Baqa’ ini menurut ahli tasawuf datang
beriringan sebgaimana ungkapan mereka :”Apabila nampak nur ke Baqa’an, maka
Fana’lah yang tiada dan Baqa’lah yangkekal”. Juga ungkapan mereka : “Tasawuf
itu adalah mereka Fana’ dari dirinya dan Baqa’ dengan Tuhannya, karena kehadiran
mereka bersama Allah”.
Abu
Yazid al-Bustami berpendapat bahwa manusia hakikatnya se-esensi dengan Allah,
dapat bersatu dengan-Nya apabila ia mampu melebur eksitensi keberadaan-Nya
sebagi suatu pribadi sehingga ia tidak menyadari dirinya.
Menurut
al-Qusyairi, Fana’ yang dimaksud adalah : Fana’nya seseorang dari dirinya dan
makhluk lain, terjadi dengan hilangnya kesadaran tentang dirinya dan tentang
mahkluk lain itu. Sebenarnya dirinya tetap ada dan demikian pula mahkluk lain
ada, tetapi ia tidak sadar lagi pada mereka dan pada dirinya.13
Diantara
kaum sufi ada yang berpendapat bahwa manusia dapat bersatu dengan Tuhan.
Seorang sufi yang sampai pada tingkat ma’rifah akan melihat Tuhan dengaqn mata
sanubarinya.
Menurut
al-Syathi, proses penghancuran sifat-sifat basyariah, disebut Fana’ al-sifat
dan proses penghancuran tentang irodah dirinya disebut Fana’ al-irodah serta
proses penghancuran tentang adanya wujud dirinya dan zat yang lain disekitarnya
disebut Fana’ al-nafs.
13Ibn Taimiyah.Op.Cit. Hal 219
Apabila
seorang sufi telah sampai kepada Fana’ al-nafs yaitu tidak disadarinya wujud
jasmaniyah, maka yang tinggal adalah wujud rohaniahnya dan ketika itu ia
bersatu dengan Tuhan secara ruhani.
Dari
berbagai uraian tersebut diketahui bahwa yang dituju dengan Fana’ dan Baqa’
adalah mencapai persatuan secara rohaniah dan bathiniah dengan Tuhan, sehingga
yang disadarinya hanya Tuhan dalam dirinya. Dengan demikian materimanusianya
tetap ada, sama sekali tidak hancur, demikianlah juga alam sekitarnya, yang
hilang atau hancur hanya kesadaran dirinya sebagai manusia, ia tidak lagi
merasakan jasad kasarnya.
Al-Kalabazi
(wafat 380 H) menjelaskan bahwa keadaan Fana’ itu tidak bisa berlangsung
terus-menerus sebab kelangsungannya yang terus-menerus akan menghentikan
organ-organ tubuh untuk melaksanakan fungsinya sebagai hamba Allah dan
peranannya sebagain khalifah di muka bumi.
Bila
seseorang telah Fana’ atau tidak sadar lagi tentanmg wujudnya sendiri dan wujud
lain disekitarnya pada saat itulah ia sampai kepada Baqa’ dan berlanjut kepada
Ittihad. Fana’ dan Baqa’ menurut sufi adalah kembar dan tak terpisahkan
sebagaimana ungkapan mereka : “Siapa yang menghilangkan sifat-sifatnya, maka
yang ada adalah sifat-sifat Tuhan”.
Dengan
tercapainya Fana’ dan Baqa’ maka seorang sufi dianggap telah sampai kepada
tingkat ittihad atau menyatu dengan yang Maha Tunggal (Tuhan) yang oleh Bayazid
disebut “Tajrid Fana’ fi at- Tauhid” yaitu dengan perpaduan dengan Tuhan tanpa
diantarai oleh sesuatu apapun.14
Dalam
ajaran ittihad, yang dilihat hanya satu wujud meskipun sebenarnya ada dua wujud
yaitu Tuhan dan manusia. Karena yang dilihat dan yang dirasakan hanya satu
wujud maka dalam ittihad ini bisa jadi pertukaran peranan antara manusia dengan
Tuhan. Dalam suasana seperti ini mereka merasa bersatu dengan Tuhan, suatu
tingkatan dimana antara yang mencinta dan yang dicintai telah menjadi satu,
sehingga salah satu memanggil yang lain dengan kata-kata “Hai Aku”[21]. Dalam keadaan
Fana’ si sufi yang bersangkutan tidak mempunyai kesadaran lagi sehingga ia
berbicara atas nama Tuhan.
Al-Bustami
ketika telah Fana’ dan mencapai Baqa’ maka dia mengucapkan kata-kata ganjil
seperti :
“ Tidak ada
Tuhan melainkan aku, sembahlah aku, Maha suci aku, Maha suci aku, Maha besar
aku”.
14 Ibn Taimiyah.Op.Cit. Hal 235
Selanjutnya
diceritakan bahwa seorang lelaki lewat rumah Abu Yazid (al-Bustami) dan
mengetok pintu, Abu Yazid bertanya : “Siapa yang engkau cari ?” jawabnya : “Abu
Yazid”. Lalu Abu Yazid mengatakan : “Pergilah, dirumah ini tidak ada kecuali
Allah yang Maha Kuasa dan Maha Tinggi”.
Ittihad
ini dipandang sebagai penyelewengan (inhiraf) bagi orang yang toleran, akan
tetapi bagi orang yang keras berpegang pada agama hal ini dipandang sebagai
suatu kekufuran. Faham ittihad ini selanjutnya dapat mengambil bentuk hulul dan
wahdat al-wujud.
Ittihad
juga adalah hal yang sama yang dijadikan faham oleh al-Hallaj (lahir 224 H /
858 M) dengan fahamnya al-Hulul yang berarti penyatuan meliputi : a) penyatuan
substansial antara jasad dan ruh; b) penyatuan ruh dengan Tuhan dalam diri
manusia; c) inkarnasi suatu aksiden dalam substansinya; d) penyatuan bentuk
dengan materi pertama dan e) hubungan antara suatu benda dengan tempatnya.
Meskipun
demikian terdapat perbedaan al-Hulul dengan ittihad yaitu dalam hulul, jasad
al-hallaj tidak lebur sedangkan dalam ittihad dalam diri al-Bustami lebur dan
yang ada hanya diri Allah. Dan dalam ittihad yang dilihat hanya satu wujud dan
dalam hulul ada dua wujud yang bersatu dalam satu tubuh.
Faham sufi yang juga dekat dengan faham Ittihad ini
adalah dengan faham wahdat al-wujud yang diperkenalkan oleh Ibn Araby wafat
tahun 638 H/ 1240 M). Faham wahdat al-wujud ini menurut Harun Nasution adalah
merupakan kelanjutan dari faham al-Hulul. Konsep wahdat al-wujud ini memahami
bahwa aspek ketuhanan ada dalam tiap mahkluk, bukan hanya manusia sebagaimana
yang dikatakan al-Hallaj.
Paham
fana’, Baqa’, dan Ittihad menurut kaum sufi sejalan dengan konsep pertemuan
dengan Allah. Fana’ dan Baqa’ juga dianggap merupakan jalan menuju pertemuan
dengan Tuhan sesuai dengan Firman Allah SWT yang bunyinya :
“Barang
siapa yang mengharapkan perjumpaan dengan Tuhannya, maka hendaklah ia
mengerjakan amal yang shaleh dan janganlah ia mempersekutukan seorang pun dalam
beribadat kepada-Nya” (Q.S. al-Kahfi, 18 : 110)15
Hal
yang lebih jelas mengenai proses Ittihad dapat pula kita simak melalui ungkapan
al-Bustami : “Pada suatu hari ketika saya dinaikkan ke hadirat Allah, Ia
berkata, “Hai Abu Yazid, mahkluk-Ku ingin melihatmu, aku menjawab, hiasilah aku
dengan keesaan itu, sehingga apabila mahkluk itu melihatku mereka akan berkata
:“Kami tetap melihat engkau, maka yang demikian adalah engkau dan aku tidak ada
disana”.
15Ibn Taimiyah.Op.Cit. Hal 236
Hal
ini merupakan ilustrasi proses terjadinya Ittihad, Demikian juga dalam ungkapan
Abu Yazid : “Tuhan berkata : semua mereka kecuali engkau adalah mahklukku, aku
pun berkata : Aku adalah engkau, engkau adalah aku dan aku adalah engkau.
sebenarnya kata-kata “Aku” bukanlah sebagai gambaran dari diri Abu Yazid,
tetapi gambaran Tuhan, karena ia telah bersatu dengan Tuhan sehingga dapat
dikatakan bahwa Tuhan bicara melalui lidah Abu Yazid sedang Abu Yazid tidak
mengetahui dirinya Tuhan.
Beberapa
Analisa Terhadap Ungkapan-ungkapan al-Bustami
Apabila
dilihat sepintas, maka dari ungkapan-ungkapan al-Bustami dapat dikategorikan
sebagai paham yang menyimpang dari ketentuan agama seperti pernyataannya “Aku
ini adalah Allah tiada Tuhan selain aku, maka sembahlah aku” yang telah
dikemukakan diatas. Secara harfiah al-Bustami seakan-akan mengaku sebagai Tuhan
pada saat Fana’. Namun kalau kita perhatikan kata-kata beliau dalam keadaan
biasa (tidak dalam keadaan Fana’) yang mengatakan “kalau kamu lihat seseorang
mempunyai keramat yang besar-besar,walaupun dia sanggup terbang di udara maka
janganlahkamu tertipu, sebelum kamu lihat bagaimana dia mengikuti perintah
syari’at dan dan menjauhi batas-batas yang dilarang syari’at”, maka dapat
dipahami bahwa al-Bustami dalam tasawuf tidaklah keluar dari garis-garis
syari’at. Memang ungkapan-ungkapan al-Bustami seakan-akan beliau mengaku
dirinya Tuhan, namun sebenarnya bukan itu yang dimaksudnya, karena kata-kata
itu adalah firman Tuhan yang disalurkan lewat lidah al-Bustami yang sedang
dalam keadaan Fana’al-nafs. Dalam hal ini beliau menjelaskan :
“Sesungguhnya
yang berbicara melalui lidahku adalah dia sementara aku telah Fana’”. Jadi
sebenarnya Abu Yazid tidaklah mengaku dirinya sebagai Tuhan, namun perkataanya
menimbulkan berbagai tanggapan.16
Al-Tusi
mengatakan : Ucapan ganji (al-Syaht) adalah ungkapan yang ditafsirkan lidah
atas limpahan intuisi dari dalam relung hatinya dan dibarengi seruan. Seorang
sufi yang sedang trance tidak bisa mengendalikan diri sepenuhnya sehingga sulit
untuk bisa mengendalikan apa yang bergejolak dalam kalbunya dan membuat
seseorang mengungkapkan kata-kata yang sulit dipahami oleh pendengarnya.
Oleh
sebab itu menurut al-Tusi, bila seorang sufi sedang Fana’ dari hal-hal yang
berkenaan dengan dirinya, bukan berarti ia kehilangan sifat-sifat basyariahnya
sebab sifat itu tidak dapat sirna dari diri manusia. Akan sangat berbahaya dari
keyakinan seorang muslim jika menganggap kefana’an adalah kefana’an sifat-sifat
manusia dan ia bersifatkan sifat-sifat ketuhanan. Menurut pendapat yang
mengatakan ketika Fana’ hilang sifat-sifat mereka dan masuk sifat-sifat Yang
16Ibn Taimiyah.Op.Cit. Hal 237
Maha
Benar adalah keliru, karena dapat mengantar mereka kepada Hulul atau penyatuan
manusia dengan Tuhan. Sebab Tuhan tidak Hulul dalam kalbu tetapi yang bertempat
dalam kalbu adalah keimanan kepada-Nya, pembenaran kepada-Nya dan pengenalan
akan dia.
Louis
Massignon menyatakan bahwa ungkapan yang muncul pada seorang sufi diluar
sadarnya berarti telah Fana’ dari dirinya sendiri serta kekal dalam zat Yang
Maha Benar, sehingga ia mengucap dalam kalam Yang Maha Benar dan bukan
ucapannya sendiri dan perkataan tersebut tidak akan terucap dalam kondisi
normal bahkan akan ditolak oleh dirinya sendiri.
Al-Junaid
mengatakan bahwa seorang sufi yang dalam keadaan trance tidak mengucapkan
tentang dirinya sendiri tapi tentang apa yang disaksikannya yaitu Allah. Ia
sangat terbuai sehingga tidak ada yang disaksikan kecuali Allah. Al-Junaidi
menilai bahwa al-Bustami adalah termasuk para sufi yang tidak bisa
mengendalikan diri serta tunduk pad intiusi sehingga tidak bisa menjadi panutan
sufi lainnya. Demikian pula menurut Ibn Taimiyah bahwa seorang sufi yang trance
dihapus saja, bukan untuk dituturkan dan dilaksanakan. Semantara itu ulama yang
berpegang teguh kepada syari’at secara zhahir menuduhnya sebagai sufi kafir
karena menyamakan dirinya dengan Allah dan ulama yang lain mentolerir ucapan
semacam itu dianggap sebagai penyelewengan dan bukan kekafiran.17
Berdasarkan
pendapat-pendapat diatas ternyata ungkapan-ungkapan al-Bustami disampaikan
dalam keadaan Fana’ dan tidak dapat dijadikan pedoman karena diucapkan dalam
keadaan tidak sadar atau tidak dalam keadaan mukallaf yangb sempurna, oleh
sebab itu, tidaklah tepat kalau ia dituduh sebagai seorang sufi yang kafir.
Lagi pula faham Fana’ dan Baqa’ yang ditujukan untuk mencapai ittihad itu dapat
dipandang sejalan dengan konsep liqa al-arabbi.Fana’ dan Baqa’ merupakan jalan
menuju perjumpaan dengan Tuhan. Hal ini sejalan dengan Firman Allah SWT pada
surah Al-Kahfi ayat 110 diatas, ayat tersebut memberi isyarat bahwa Allah SWT
telah memberi peluang kepada manusia untuk menemuinya, bahkan karena sudah
merasa terlalu dekat dengan Tuhan al-Bustami telah merasa berittihad
dengan-Nya. Konasep Fana’ dan Baqa’ ini juga di ilhami dari isyarat ayat yang
berbunyi :
“Semua yang ada
di bumi ini adalah binasa (26) dan tetap kekal wajah Tuhanmu yang mempunyai
kebesaran dan kemuliaan (27)”. (QS. Al-Rahman, 55 : 26-27)
FANA dan BAQA